Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah koran halamannya terbuka di hari merangkak senja. Tergeletak dalam lipatan di atas meja. Jeda terbaca. Digantikan percakapan dalam kata yang terucap. Juga isyarat bahasa oleh mata tertangkap.
Ah, bukankah kata-kata yang tercetak juga mengajak seseorang bicara?!
Di ruang tamu, Abdun sendiri. Pakde Banjir, si tuan rumah, baru saja berlalu ke dalam.
Tanpa kata-kata terucap, Abdun tahu, inilah yang biasa dilakukan pensiunan pegawai kantor kecamatan itu. Kurang sebulanan dari idul ‘adha, dia akan memanggil Abdun datang ke rumah. Berbicara tentang hewan untuk kurban. Meminta Abdun untuk menyiapkannya. Dan tahun ini, sudah ketujuh kalinya.
Entah, apa yang menjadikannya seperti itu. Padahal, tidak sedikit orang di desanya yang bisa disebut sebagai pakar per-kambing-an dan per-sapi-an. Pakar hewan kurban. Sementara dia, hanya angon. Paling banter, enam ekor kambing. Itu juga ketika salah satu kambing betinanya usai melahirkan. Lantas, ketika waktu menyusu anak kambingnya habis dan kebetulan ada tetangga yang ingin membeli, dia pun akan melepaskannya. Tentu, jika harganya cocok menurut Abdun.
Apakah kepercayaan?! Mungkin saja. Dan agaknya, hal seperti itu tak perlu dikatakan. Tak perlu juga ditanyakan kepada Pakde Banjir. Barangkali untuk dimengerti saja. Lalu dijaga. Karena terkadang, kepercayaan yang diomong-omongkan dan diiklankan, malah menjadikannya terdengar seperti bualan.
Abdun diam menatap ke arah meja. Juga pikirannya. Sebaris kata-kata pada halaman koran itu seperti menyapa. Mengajak bicara dan berkabar kepadanya.
Ternyata, Mas Nur seorang penyair, pikir Abdun. Kemudian membaca puisi-puisi yang ada di halaman koran minggu itu. (*)