Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Awan suka sekali bolu. Apalagi kalau habis keliling dunia, mengumpulkan hujan dan mencari tempat yang tepat untuk mencurahkannya. Pekerjaan yang tampak sepele, tetapi sesungguhnya melelahkan. Cuma awan yang tahu bagaimana rasanya melakukan pekerjaan semacam itu. Aku sebagai teman baiknya, kalau tidak bisa dibilang pengagum rahasia, hanya bisa menunggunya datang.
Aku tahu, pastilah awan lelah dengan pekerjaannya itu dan butuh sesuatu untuk mengisi perut dan menyenangkan hatinya. Maka hari ini, aku akan membuat bolu untuk awan. Dia sudah berjanji sejak kunjungan terakhirnya beberapa waktu lalu untuk kembali mengunjungiku hari ini.
Pagi-pagi sekali aku berangkat ke pasar. Jalan kaki. Jalannya becek sebab hujan turun semalam. Tidak masalah buatku. Perkara kaki kotor akibat terciprat kubangan bisa dicuci setelah aku sampai di rumah. Lagipun, hujan itu hasil pekerjaan awan. Kenapa aku harus protes?
Di dapur, setelah aku mencuci tangan dan kakiku yang belepotan lumpur, kukeluarkan semua bahan bolu dan kutimbang sesuai resep yang kupunya. Bahan-bahan dan takarannya itu adalah 200 gram terpung terigu, 100 gram gula pasir, 5 butir telur, ½ sendok teh sp, ½ sendok teh vanili, dan 100 gram mentega yang kemudian kucairkan.
Setelah semua bahan kusiapkan di counter table, segera kueksekusi resep bolu panggang sederhana itu. Kukocok telur, gula pasir, sp, dan vanili sampai jadi adonan yang lembut, manis, putih, berbuih, dan mengembang. Persis awan.
Setelah kumatikan mikser, kupandang adonan itu dengan penuh kekaguman. Benar-benar seperti awan. Tetapi adonan ini tidak bisa melayang dan menurunkan hujan. Apalagi setelah kutambahkan terigu sedikit demi sedikit sambil mengaduknya dengan spatula. Adonannya jadi berat. Perlu usaha untuk mengaduknya supaya rata. Kalau ada yang menggumpal, maka aku harus mengaduknya sambil menekan gumpalan itu biar pecah dan berbaur dengan bahan-bahan lainnya.
Langkah berikutnya, kumasukkan mentega cair yang sudah dingin dan mengaduk adonannya kembali dengan spatula. Warna adonannya berubah jadi kuning pucat, tidak lagi putih seperti awan.
Ah, sepertinya resepnya keliru. Seharusnya tidak pakai mentega kuning, tetapi mentega putih. Biar warnanya tetap putih seperti awan. Supaya rasanya tidak hambar, tambahkan saja garam. Hm, mungkin lain kali kuubah saja resep ini. Jadi pakai mentega putih.
Kutuang adonan ke dalam loyang yang sudah diolesi mentega dan ditaburi tepung. Biar tidak lengket saat nanti mengeluarkannya dari loyang kalau bolunya sudah matang. Kalau lengket, rupa boluku jadi jelek. Awan pasti tidak berselera menyantapnya.
Kupanggang adonan bolu itu di ata skompor dengan api kecil. Durasinya cukup lama, sekitar setengah jam. Waktu yang cukup untukku mandi dan berdandan. Awan tidak suka kalau aku berantakan dan dasteran. Apalagi kalau aku juga bau badan.
Setelah setengah jam, kutusuk bolu dengan garpu. Tidak lengket, tidak ada adonan yang menempel di jeruji garpunya. Tanda bolu sudah matang dan sudah waktunya dikeluarkan dari oven.
Tetapi, bolunya terlalu sepi. Tahu begini, tadi kutambahkan pewarna makanan. Atau pasta cokelat atau pandan supaya bolunya berwarna dan tampak lebih menarik. Gara-gara aku terobsesi dengan putihnya awan sampai membiarkan adonannya putih, hasilnya jadi kurang menarik seperti ini.
Aku berpikir, mencari ide untuk mempercantik bolu ini. Aku tidak bisa mengandalkan rasa dan aroma untuk menarik perhatian awan agar mau memakan bolu buatanku. Bagaimanapun, penampilan juga penting.
Karena itulah kutaburi bagian atas bolu dengan gula halus. Serbuk-serbuk putih turun di atas permukaan bolu yang polos. Seperti salju yang turun di atas tanah tanpa rumput. Kuharap ini bisa menggugah selera makan awan.
Kusiapkan juga pisau, piring besar, dua piring kecil dan dua garpu. Bolu ini akan kami makan bersama. Sambil ngobrol dan memandang senja.
Awan pun datang. Ia tampak tampan dan rapi dengan rupanya yang putih bersih. Saat aku membuat bolu tadi, hujan turun cukup deras dan menimpa kolam hias di depan rumahku sampai berbuih. Wangi sabun dan sampo. Hm, pasti awan barusan mandi dulu sebelum bertemu denganku.
Hal itu membuatku tertegun beberapa saat ketika awan ada di hadapanku. “A-apa kabar?” sapaku, agak gugup.
“Baik. Kamu?”
Aku menjawab seperti yang awan jawab. Kabarku sungguh baik sore itu, meski cukup kalut juga sebab lelah sudah membuat bolu dan khawatir awan tidak menyukai bolu buatanku.
Kupersilakan awan duduk di teras. Kusuguhkan bolu buatanku beserta secangkir teh tawar yang masih mengepul.
“Kamu yang buat bolu ini?” tanya awan.
Aku tersenyum dan mengangguk dengan bangga.
Awan memintaku untuk memotong bolunya. Rupanya ia sudah tidak sabar mencicipi. "Seiris saja," katanya.
Aku tidak mengerti, kenapa awan hanya minta seiris? Apa karena bolunya tidak seputih dirinya? Atau mungkin ini untuk pembukaan saja? Kalau awan sudah tahu rasa bolu ini, ia mungkin bakal ketagihan.
Kupotong bolu dengan hati-hati. Uap panas masih menguar dari dalam bolu. Warna kuning pucat ternyata membuat bolu tampak memikat dan awan sepertinya tidak mempermasalahkan. Apalagi tercium aroma mentega campur vanili. Sungguh bikin ngiler!
Kutaruh seiris bolu permintaan awan di piring kecil dengan garpunya. Dengan tangan gemetar
akibat jantungku yang berdebar-debar menduga reaksi awan selanjutnya setelah mencicipi bolu buatanku, kusodorkan irisan bolu itu pada awan. Kusertakan sebuah senyum manissebagai penambah selera makan.
Namun, awan menampik bolu pemberianku. Ia tidak mau bolu ini Kenapa? Bukankah tadi awan minta seiris? Kenapa ia menolak?
Lalu, pandangan awan beralih pada sisa bolu yang masih besar ukurannya. Tanpa minta izin, ia meraih bolu itu dan berkata, “Aku sangat lapar. Yang seiris itu buatmu.”
Dan awan mengambil sepiring bolu yang masih besar ukurannya. Memotongnya kecil-kecil dengan garpu, lalu menyuapkan potongan kecil itu ke dalam mulutnya. Awan mengunyah dengan sangat nikmat. Mungkin lapar, mungkin juga doyan. Keduanya hanya beda tipis rupanya.
Aku menelan ludah. Kuambil seiris bolu yang semula kupikir buat awan dan memotongnya kecil-kecil dengan garpuku. Rasanya memang enak. Tapi, cuma seiris.
Apa kalau sayang, memang harus berkorban?