Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
(Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata. Nama tokoh disamarkan)
Rabu, 9 Oktober 2024
Hari itu, kami masih ulangan tengah semester. Aku dan teman-temanku belajar agama Islam, karena pada saat itu waktunya ulangan agama.
“Buset, materi dan teori agama susah amat, sih!” komentar hatiku sambil membuka buku paket.
“Hei, teman-teman, aku deg-degan saat ulangan nanti. Banyak teorinya, susah aku menghafal,” ujar salah satu temanku, Mitha.
Sambil belajar, kami juga mendiskusikan tentang materi yang belum dipahami. Setelah bel masuk berbunyi, kami duduk di bangku masing-masing. Wali kelas kami, Bu Tari, memasuki kelas kami.
“Nanti ulangan tengah semesternya dibagi sama guru mapelnya masing-masing, ya!” kata Bu Tari.
“Ya, Bu!” seru kami.
Tak lama kemudian, datanglah Pak Roni, guru mapel agama Islam kami. Bu Tari izin keluar untuk mengobrol dengan guru lain.
“Sudah siap untuk ulangan, anak-anak?” tanya Pak Roni.
“Siap, Paaak!” seruan pun menyambut pertanyaan Pak Roni.
Pak Roni mulai membagikan kertas ulangan dan menyuruh kami untuk tidak menyontek.
Pada awalnya, suasana hening dan tenang. Kami mengerjakan ulangan tanpa suara. Tiba-tiba, salah satu temanku, Fairel, yang minta izin ke toilet. Suasana hening yang membuatku tenang kini berganti jadi suasana berisik seperti di kandang monyet.
“Daripada rame begini, lebih baik ulangannya kita koreksi saja!” suara Pak Roni memecah suasana.
Kami lalu menukar kertas ulangan kami dengan teman sebangku. Lalu dimulailah koreksiannya.
Sayangnya, pada saat sedang mengoreksi ulangan, teman-temanku kembali berisik. Entah itu mengobrol dengan teman sebangku, atau berdiskusi tentang jumlah poin pada jawaban yang benar. Lama-lama, Pak Roni jadi kesal. Persis pada soal terakhir, beliau duduk di kursi guru sambil berseru, “Sudah, kumpulkan ulangannya!”
Suara yang keluar dari mulut Pak Roni bukan lagi bernada lembut. Suara yang keluar kini bernada tajam dan marah. Aku terkejut mendengarnya.
Semua anak segera mengumpulkan ulangannya. Kemudian, Pak Roni menyuruh membagikan ulangan tersebut sesuai namanya.
“Pak, Bapak jangan ngambek, dong…” rayu Nina sambil menatap wajah guru kami itu.
Kulihat Pak Roni sibuk membereskan tas ranselnya tanpa berkata satu pun. Ekspresinya datar.
“Maaf, ya, saya lagi tidak enak hati,” akhirnya beliau bicara. “Saya memaafkan kelakuan kalian tadi. Bukalah buku bahasa Inggris kalian, lalu belajar.”
Pak Roni mengangkat tasnya dan keluar meninggalkan kami.
Aku terpuruk dalam kesedihan. Aku menyesal karena tidak mengingatkan teman-temanku supaya jangan berisik. Aku duduk lemas, dengan kertas ulangan dan alat tulis berserakan di mejaku. Tak sepatah kata pun kuucapkan. Aku tahu betul hati Pak Roni yang kecewa dengan kelakuan kami. Sementara anak lain belajar bahasa Inggris, aku diam terpaku di kursiku.
Menjelang waktu istirahat, Bu Tari datang.
“Ulangan agamanya sudah selesai?” tanyanya.
“Belum,” jawab kami semua.
“Tadi kami sedang mengoreksi ulangan kami bersama-sama, Bu Tari. Terus karena banyak anak-anak yang berisik, makanya Pak Roni jadi marah. Lalu…” Difa berusaha menjelaskan.
“Stop!” potong Bu Tari. “Jadi Pak Roni meninggalkan kelas ini sambil marah?”
Semuanya mengangguk.
“Ayo, semua satu kelas keluar dan minta maaf sama Pak Roni, sekarang juga!” titah Bu Tari.
Tanpa dikomando dua kali, kami buru-buru keluar kelas sambil berbaris. Di dekat kantin, kami bertemu dengan Pak Roni. Kami salami tangannya, dan kami juga minta maaf. Hatiku pun lega mendengar Pak Roni mau menilai hasil ulangan kami.