Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kamis sore di bongkah kemarau. Dua orang laki-laki menjongkok di tanah pekuburan desa. Menghadap ke timur, dengan kepala menunduk ke gundukan tanah di depannya. Pakde Banjir di sebelah timur-selatan dekat gapura masuk dan Wak Kamdu di sebelah barat-utara. Jika digaris, maka akan terbentuk garis mengarah ke Ka’bah.
Seperti biasa, menjelang malam jum’at kliwon, Abdun selalu mendapati dua orang itu telah berada di sana. Mendahului kedatangannya untuk nyekar ke makam kedua orang tua. Maklum saja, dia harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dulu, mengurus beberapa ekor kambing. Tidak seperti kedua orang itu, yang agaknya sudah tak lagi disibukkan dengan perkara mencari nafkah. Bukan hanya telah melewati usia pensiun, keduanya juga tergolong kaya di desa. Maka, tak perlu baginya menghabiskan masa tua dengan membanting tulang. Yah, masa itu telah lewat bagi keduanya.
Beberapa tahun yang lalu, entah kapan pastinya. Abdun hanya ingat, dulu hanya dia sendiri yang biasa pergi ke pekuburan desa itu. Membiasakan nyekar, sejak si emak menyusul bapaknya meninggalkan dunia. Saat itu, Abdun belum menikah. Kini, anak tertuanya telah berusia delapan tahun. Berselang waktu, kemudian Abdun melihat Pakde Banjir di sana. Berziarah seperti dirinya. Disusul Wak Kamdu pada kesempatan berikutnya.
Memang, ziarah atau nyekar ke makam orang tua dan para leluhur telah menjadi tradisi di desanya. Akan tetapi, hal itu biasanya hanya terjadi pada kesempatan menjelang bulan Ramadlan dan Idul Fitri. Sementara untuk siklus hari pasaran, misalnya setiap menjelang malam jum’at kliwon, hanya Abdun dan kedua orang itu. Maka, tak heran jika ketiganya seperti memiliki hubungan tersendiri. Keakraban yang terjalin melalui kebiasaan ziarah.
Entah, apa yang dialami keduanya saat berdiam di dekat pusara. Apakah keduanya juga berjumpa dan berbicara dengan ahli kuburnya?! Dengan kedua orang tuanya yang telah berada di alam kubur?! Abdun tak tahu. Dia tak pernah menanyakannya.
Perlahan Abdun duduk di sebelah barat makam bapak dan emaknya. Mengucap salam, membaca tawasul dan doa-doa kalimah tayyibah, sebagaimana yang diajarkan oleh guru-guru agama kepada dirinya. Juga kepada masyarakat. Termasuk sebuah hadits yang selalu menyuruhnya untuk berziarah, yakni “Ketika anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka semua amalnya terputus, kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih—shalihah—yang mendoakan orang tuanya.
Perkara yang terakhir inilah yang diharapkan oleh Abdun terkait keberadaannya sebagai seorang anak dengan orang tua yang telah meninggal dunia. Menjadi anak yang shalih dan mendoakan keduanya, dimana kesemuanya tidak mungkin tanpa rahmat-Nya.
Semuanya adalah rahman dan rahim-Nya. Demikian kata Mbah Mad suatu ketika yang diingat Abdun. Segala kebaikan adalah rahmat-Nya, yang selalu melahirkan berkah, yang berlanjut pada kemulyaan—karamah—di sisi-Nya.
Berselang waktu kian senja, Abdun menyelesaikan ritualnya. Sejenak dipegangnya batu nisan makam kedua orang tuanya bergantian. Batu-batu nisan yang menandai keberadaan lorong asing yang tersimpan di gundukan tanah. Lorong asing yang menghubungkan masa lalu dan masa depan, serta perjalanan hidup manusia. (*)