Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Usai hujan sepanjang malam, pagi tergelar juga di luar pintu. Selain dingin, Abdun mendapati jejaknya di udara. Entah, berapa liter air menguap dan merendah sebagai kabut. Meskipun jangkauan mata menciut, namun hal itu bukan masalah bagi Abdun. Tak perlu baginya mencari dan menyalakan lampu kabut. Karena dia tahu, itu hanya akan sia-sia. Lantaran barang itu belum pernah ada tersimpan di rumahnya.
Tak perlu juga menyalakan mesin sepedamotor butut. Lantas mengendarainya dengan tarikan kuat-kuat pada gas. Menembus dingin di permukaan aspal jalan yang menggigil. Ke kota hanya untuk membeli kacamata kabut. Tak perlu. Selain tak pernah terekam dalam daftar pengeluaran tak terduga—yang biasanya ditambal dengan menjual kambing—, pasar dan toko-toko di kota umumnya masih belum buka. Namun yang terpenting dari semuanya, Abdun merasa kedua matanya sehat dan baik-baik saja.
Yah, tak ada yang rumit dalam kabut. Tak ada yang perlu dibesar-besarkan secara keterlaluan dari semua kejadian. Sederhana saja. Proporsional, demikian istilah populernya. Karena itu, Abdun pun menikmatinya.
Kabut yang jarang-jarang tergelar di hadapannya. Menyamarkan pepohonan, pematang sawah, dan segala yang setiap hari dilihatnya. Kini, semua itu muncul dalam ingatannya. Melompat-lompat, menjangkau sebuah kalimat. Mengingatkan pada ungkapan Mbah Mad, gurunya, yang kerap diulang-ulang.
“Kalam Tuhan tak pernah berhenti. Maka pandanglah semuanya sebagai ayat.”
Lantas, untuk siapakah semua ayat ini?! Apa hakikat dan tujuannya?!
***
Perlahan kabut mengudar. Tak jauh dari arah depan, Abdun melihat Mbah Saleh dan istrinya tengah berjalan menyusuri pematang sawah. Entah, apa tujuan sepasang kakek-nenek berusia tujuhpuluh tahun plus itu. Setiap hari selalu pergi ke sawah. Pagi-pagi selalu. Berjibaku dengan lumpur. Juga, dengan bongkah.
Abdun tahu. Semua anak dari keduanya telah menjadi “orang” di luar kota. Setiap lebaran, mereka pulang dengan mobil sendiri-sendiri. Setiap bulan, tak lupa mengirim uang untuk kedua orang tua. Bahkan, tak jarang mereka ber-infaq untuk biaya pembangunan masjid dan mushala di kampung halaman.
Ah, mungkin bagi keduanya, bekerja di sawah adalah gerak dan penyaksian dalam hidupnya. Terlebih di sepuh usia. Demikian, gumam Abdun. Terdiam dengan pikiran yang masih menduga-duga. (*)