Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Meskipun kopi selalu disuguhkan dan dinikmatinya saat mengaji, entah kenapa, Abdun seperti tidak bisa tidak mampir sejenak di warung kopi dekat kantor kecamatan itu. Padahal, rasa kopinya juga biasa saja. Tak sesedap kopi buatan istrinya yang dilembutkan dengan deplok alu.
Maka patut diduga, jangan-jangan bukan sebab kopinya, melainkan lebih karena suasananya, yaitu warung kopi dini hari. Hingga menjadi kebiasaannya ketika dalam perjalanan pulang usai mengaji di rumah Mbah Mad. Syukurlah, hanya sekali dalam satu minggu. Kalau setiap malam lanjut dini hari, tentu akan menjadi perkara dalam rumah tangganya.
Menunggu kopi menguapkan hangat, Abdun teringat kisah seorang kiai yang tadi diceritakan oleh Mbah Mad. Mungkin kenalan atau teman sewaktu dulu nyantri di pesantren. Akan tetapi, kiai itu bukanlah kiai pada umumnya. Tak seperti para penceramah pada pengajian umum di atas panggung dan podium peringatan hari besar. Dia tidak pernah mau berdiri memegang tongkat dan berbicara di mimbar jum’at. Apalagi muncul di televisi dan channel youtube. Blass gadas. Sekali pun tidak. Dia juga tidak seperti kiai yang men-tasharuf-kan hidupnya ngopeni para santri di pesantren.
Tak ada bangunan pesantren di sekitar rumahnya. Andaikan bisa disebut pesantren, maka itu hanya bangunan mushala panggung untuk menemani anak-anak kecil belajar mengeja huruf-huruf hijaiyah di sore hari. Juga untuk berjamaah shalat lima waktu bersama tetangga. Dan kalaupun dikatakan banyak yang sowan kepadanya, maka umumnya mereka datang untuk mengudar masalah. Termasuk anak-anak kecil itu, yang tak mau mengaji lagi ke TPQ lantaran malu. Tidak juga-juga bisa membaca rangkaian huruf hijaiyah. Malu, karena terlalu sering dilewati anak-anak yang lebih kecil. Juga mogok berangkat, sebab acapkali kena marah ketika kehadirannya kerap dianggap sebagai biang masalah.
Yah, masalah. Barangkali. hal yang akrab dengan “pesantren”-nya. Hingga menjadikan keberadaan kiai itu sangat dibutuhkan, terutama untuk mengisi ruang kosong yang penuh dengan beragam masalah dan pertanyaan. Abdun tahu, di setiap masyarakat tinggal, hampir selalu ada orang-orang yang memainkan peran ini. Namun, sepertinya kiai itu berbeda. Tidak hanya menguasai kitab-kitab kuning, dia juga diceritakan memiliki pengetahuan yang luas mengenai sejarah dan filsafat, baik Barat maupun Timur. Juga agama-agama besar dunia. Dia paham sastra, penikmat seni, serta penyuka film yang baik. Entah, apa pentingnya semua itu.
Barangkali, tidak penting bagi mereka yang datang. Namun bagi kiai itu, semuanya sangat penting. Terutama untuk memahami sisi terdalam diri manusia yang memancar dan merembes pada kehidupan, berikut masalahnya. Termasuk pemahaman yang mendalam luas mengenai kaitan antara teks dan konteks, yang menjadi ruang tumbuhnya berbagai nilai serta lahirnya hikmah dan kebijaksanaan. Ringkasnya, semua itu penting, terutama untuk menyapa kemanusiaan pada diri seseorang yang datang ke rumahnya.
Dari seluruh yang tergambar pada sosoknya, Abdun tak menemukan kesamaan antara dirinya dengan kiai itu, kecuali sama-sama sebagai penikmat kopi. Namun berbeda dengan kiai itu yang suka kopi pahit, Abdun suka kopi yang dioplos dengan gula.
Perlahan Abdun menyeruput kopinya. Berusaha menikmatinya sececap demi sececap. Sejenak terasa mata dan pikirannya terbuka lebih lebar. Menariknya kembali pada sosok kiai itu. Semakin dekat kepadanya, Abdun seperti mendapatkan sesuatu, semacam wasiat untuk belajar dan terus belajar. Berguru kepada siapa saja. Tidak lain, untuk menjadi manusia, dengan indentitas yang khas dalam persona. [*]