Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Naomi, aku mau menceritakan sesuatu kepada kalian. Mungkin menurutmu ini klise dan picisan, tapi potongan cerita hidupku ini adalah lembaran terbaikku. Karena aku bisa menemukan cinta lamaku yang hilang—lebih tepatnya cinta yang belum aku tuntaskan. Dan selama ini aku terus berusaha mencari jawaban kebenarannya.
***
“Halo, ini Juna?” ujarku berusaha terdengar lembut namun penuh harap di ujung telepon.
Suara berat yang akrab itu menjawabnya, “Iya, ini siapa?”
Aku harus menarik napas dalam-dalam sebelum memberanikan diri menjawab, “Ini aku, Naomi.” Situasi itu mengingatkanku ketika pertama kali bertemu Juna, belasan tahun lalu, dan masih membuatku gugup.
Hening sejenak. Lalu suara Juna juga terdengar, sedikit gugup namun penuh kehangatan, “Naomi? Apa kabar? Sudah lama sekali…,”
“Aku baik,” jawabku singkat. “Kamu masih di kota ini?”
“Iya, aku masih di sini. Aku sedang bekerja di kantor sekarang. Kamu sendiri?” Juna terdengar berusaha menjaga formalitas, seolah membangun dinding di antara kami.
“Aku juga sedang di kota ini. Aku ingin bertemu denganmu,” aku mengatakannya sambil memandangnya dari kejauhan. Aku berdiri tepat di seberang jalan, mengintip dia yang sedang sibuk melayani pembeli di toko kecilnya.
Juna terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Aku baru selesai bekerja nanti sore. Setelah itu aku harus menjemput istriku.”
Aku tertegun, tapi tetap menjaga nada suaraku agar tak terdengar goyah. “Oh, begitu. Kalau begitu, tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” kataku pelan.
“Kamu sendiri? Bagaimana kabarmu? Sudah menikah?” tanya Juna tiba-tiba, suaranya mengandung nada penasaran.
Aku sempat bingung menjawabnya, dan membuatku tersenyum pahit. “Aku juga sudah menikah,” jawabku berbohong, mencoba menyembunyikan perasaan.
Tapi tiba-tiba hatiku terasa seperti mau meledak--sesak. Dan tak bisa menunggu lebih lama, lalu aku memutuskan mendekati toko sayurnya, dimana Juna sedang berdiri baru saja selesai menjawab teleponku. Aku melihatnya, matanya menerawang ke langit seolah bertanya, karena semuanya begitu tiba-tiba, seperti mimpi. Lalu ia tersenyum dan kembali menyibukkan diri.
Ketika Juna menyadari kehadiranku didepannya, ia tertegun. “Naomi?” tanyanya dengan nada tak percaya.
Aku tak bisa menahan senyum kecil, pura-pura sibuk melihat-lihat sayur yang tertata rapi. “Aku ingin beli sayur, kebetulan aku lihat kamu di sini,” aku berusaha santai.
“Kamu… di sini…,” Juna tergagap. “Baru saja kita bicara di telepon.”
Mau tak mau aku tertawa kecil, menghilangkan gugupku dan berusaha mengabaikan kebingungan. “Aku tidak sabar menunggu. Jadi aku langsung datang menemuimu.”
“Mungkin nanti aku bisa melihat istrimu dan mungkin bisa berkenalan?”
Juna tak menjawabnya, mereka kini berdiri berhadapan, seolah waktu berhenti. Mata kami berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Rindu yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalan keluar.
“Kenapa kamu meninggalkanku dulu?” Aku tiba-tiba menanyakan hal itu seolah reflek, memecah kebekuan.
Juna menunduk. “Karena aku menyayangimu,” jawabnya pelan.
Aku terkejut. “Apa maksudmu?”
“Lalu, apa alasannya meninggalkanku?” Aku masih tak percaya dengan jawaban yang baru kudengar.
“Waktu itu, usahaku gagal. Aku tak mau kamu hidup sulit bersamaku. Aku pikir, dengan melepasmu, aku bisa memberimu kesempatan untuk hidup lebih baik,” Juna menjelaskan dengan suara bergetar. “Tapi memang aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu, Naomi.”
“Aku tidak peduli dengan itu, aku butuh kamu,” jawabku cepat.
Juna menggeleng. “Terlambat, kita sudah menjalani jalan masing-masing.”
“Tidak,” aku memotong kata-katanya yang terasa menggantung. “Aku belum menikah. Aku hanya bilang begitu karena aku takut terluka lagi.”
Juna tertegun. Matanya menatap dalam ke mataku, mencari kebenaran di sana. “Kamu belum menikah?” tanyanya perlahan.
Aku mengangguk. “Dan kamu juga belum menikah, kan? Itu hanya alasanmu untuk menghindariku tadi.”
“Aku sudah menikah,” ujar Juna dengan gelagat ragu menjawabnya.
“Kamu masih berpikir bisa menggunakan alasan yang sama seperti ketika meninggalkanku dulu?”
Juna terdiam. Ia merasa semua alasan yang ia bangun selama ini runtuh di hadapan kenyataan bahwa Naomi masih mencintainya.
Tanpa berkata apa-apa, aku meraih tangan Juna. “Ikut aku,” kataku lembut.
Kami berjalan bersama ke sebuah pohon di kaki bukit kecil. Di sana, di bawah pohon besar yang menjadi tempat kami sering bertemu, Aku menatap mata Juna dengan penuh haru.
“Aku tidak peduli dengan masa lalu. Aku hanya ingin punya masa depan bersamamu,” kataku dengan suara bergetar.
Juna menghela napas, mencoba menahan emosinya. “Tapi aku tak bisa memberimu apa-apa, kamu tahu kondisiku sekarang.”
“Kita sudah sama dewasa, sudah memahami itu. Bukan lagi cinta monyet seperti dulu. Aku tidak butuh apa-apa selain kamu. Mungkin kita bisa memulai belajar hidup bersama, dalam susah dan senang.”
“Seperti janji kita dulu?” Juna mengatakannya nyaris sambil tertawa, tapi juga tak bisa menyembunyikan sendu di ujung matanya, karena merasa lucu bisa mengulang kembali sesuatu yang menurutnya telah hilang dari impiannya.
Aku mengangguk.
Juna akhirnya menyerah pada perasaannya. “Aku memang tak pernah bisa berhenti mencintaimu, Naomi. Itulah aku.”
“Itu tandanya kita masih sehati.”
Mata kami bertatapan, jari saling menggenggam, membiarkan rasa cinta lama yang tak pernah kelar menemukan jalannya kembali.
Begitulah. Sesederhana itu ternyata cinta bisa menemukan jalannya.