Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Inspirasi dari--- Remember us this way by Lady Gaga
Langit Arizona memerah jingga saat senja mulai menyelimuti desa kecil di tepian gurun. Di tengah keheningan yang magis itu, suara gitar akustik mendayu lembut dari sebuah kafe kecil di sudut jalan yang dipenuhi rimbunan jajaran Pinus Ponderosa, Quaking Aspen, Cliffrose dan Arizona Thistle. Nadanya lirih, seperti bisikan kenangan yang menari-nari di udara.
Di panggung kecil itu berdiri Ara dengan gitarnya. Suaranya serak namun dalam, penuh perasaan, menyanyikan lagu yang sendu entah untuk siapa.
Gadis itu telah lama berkutat dengan musik ditemani gitar yang selalu mewakili kerinduannya pada seseorang yang kini hanya ada dalam angan dan berada di negeri antah berantah dalam benaknya.
Di meja paling pojok, seorang pria duduk diam. Matanya menatap ke arah Ara tanpa berkedip, seperti ingin merekam setiap gerakannya.
Alaric, seorang fotografer petualang yang tanpa sengaja singgah di desa ini, mencari sesuatu yang ia sendiri belum tahu apa.
"Terima kasih telah mendengarkan," kata Ara pelan, sebelum melangkah turun dari panggung, usai menyelesaikan lagu terakhirnya dengan sebuah bonus senyuman kecil.
"Maaf, lagu itu... terdengar seperti kenangan yang tak ingin kau lupakan," ucap Alaric, yang sejak awal merasa tertarik oleh kehadirannya, dan mencoba memberanikan diri mendekati Ara.
Ara yang sedikit terkejut menoleh, "Mungkin itu memang kenangan yang tidak seharusnya terlupakan. Tapi apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Caramu menyanyikannya. Seperti kau sedang berbicara pada seseorang, bukan hanya menyanyi."
Komentar yang tak biasa dan terasa berbeda itu membuat Ara tersenyum kecil. "Mungkin kau benar. Tapi bukankah setiap orang punya kenangan yang ingin mereka sampaikan, meski hanya lewat lagu?"
“Itu yang aku maksud, kau sedang mengatakan tentang sesuatu melalui lagumu.”
Ara tersipu, merasa ada seseorang yang membuka tabir selubung rahasia hatinya.
“Kamu benar,” ujar Ara akhirnya berterus terang.
Percakapan itu membuka hati mereka berdua, semakin larut malam obrolan itu terus berlanjut. Ara bercerita tentang hidupnya di desa, tentang mimpinya yang sederhana tapi besar, ingin melintasi dunia dengan lagunya.
Sedangkan Alaric, di sisi lain, menceritakan perjalanan panjangnya sebagai fotografer, menangkap keindahan dunia yang sering terabaikan.
“Seseorang yang kau tunggu ada disini?” Alaric akhirnya mencoba memberanikan diri langsung berterus terang.
“Apa itu penting buatmu.”
“Setidaknya itu bisa meyakinkanku bahwa kau sebenarnya tak sedang sendiri, hanya butuh waktu menyendiri.”
"Maksudmu?”
"Kau tau tak selamanya kita bisa menjamin sebuah hubungan terus baik. Bukan maksudku itu sesuatu yang buruk, tapi sedikit gesekan antara dua hati bisa membuat kita butuh waktu untuk sendiri—mungkin berkontemplasi?”
“Tapi aku tidak membutuhkan itu sekarang. Aku hanya ingin sendiri,” tegas Ara.
“Apakah itu artinya kehadiranku mengganggumu?”
“Bukan, bukan itu maksudku. Itu soal lain—itu berbeda.”
“Tapi baiklah, aku menghormati privasimu. Jika kamu memutuskan untuk pergi sekarang.”
“Terima kasih untuk pengertiannya. Aku butuh istirahat sekarang—setelah mengutarakan suara hatiku lewat lagu tadi,” ujar Ara sambil senyum terkulum.
***
Hari-hari berlalu, Alaric merasa aneh, karena hatinya seolah enggan pergi. Ada sesuatu tentang Ara yang membuatnya ingin tinggal lebih lama, meski ia tahu hidupnya tidak pernah mengizinkan berhenti dari perjalanan pencarian jati dirinya.
Ara, dengan cara yang lembut namun tajam, justru mulai membuka hatinya pada Alaric. Mereka semakin sering mengobrol hingga dini hari, berbagi mimpi, ketakutan, dan harapan yang tak terucap.
Namun, tetap saja tak semua kisah manis bisa dibagi, selalu ada cerita yang memiliki rahasia di dalamnya. Ara menyimpan satu rahasia yang ia tahu akan menghancurkan apa yang baru saja ia bangun. "Aku tidak bisa tinggal di sini selamanya," ucapnya pada suatu malam, suaranya penuh keraguan.
Alaric mengerutkan kening. "Kenapa tidak? Apa yang menahanmu?. Seseorang yang penting bagimu?”
“Apakah aku harus mengatakannya?”
“Aku tak memaksa. Turuti saja apa kata hatimu.”
"Dunia ini terlalu kecil untuk mimpi-mimpiku, Alaric. Tapi aku takut melangkah keluar dan kehilangan semuanya," jawab Ara, sambil memandang jauh ke arah cakrawala gelap.
Percakapan malam itu berlalu tanpa kata-kata lagi. Keduanya terjebak dalam pikiran masing-masing. Alaric tahu, cepat atau lambat, ia harus pergi. Dan Ara, dengan segala keberanian yang ia miliki, tahu ia harus menghadapi mimpinya sendiri, meski itu berarti meninggalkan desa kecil ini dan mungkin juga Alaric-laki-laki yang baru dikenalnya tapi menarik hatinya.
Ketika pagi terakhir mereka bersama tiba, Ara mengantar Alaric hingga ke tepi jalan. Matahari terbit perlahan, melukis langit dengan warna merah muda dan oranye.
Ara menyanyikan satu lagu terakhir untuknya, tanpa gitar, hanya suara yang murni dan jujur. Alaric mengabadikan momen itu dengan kameranya, menyadari bahwa ini adalah terakhir kalinya ia bisa melihat Ara seperti ini.
"Aku akan selalu mengingat kita seperti ini," ucap Ara, sambil menatap ke dalam mata Alaric. "Mungkin kita tidak bisa bersama selamanya, tapi kenangan ini akan selalu hidup."
Alaric mengangguk. "Kenangan adalah cara kita menyelamatkan cinta dari waktu, Ara."
“Kamu benar.”
Akhirnya Ara melanjutkan perjalanannya ke kota besar, mengejar mimpi-mimpinya yang tak terbatas. Sementara Alaric kembali ke perjalanannya, membawa sepotong kenangan yang akan selalu ia simpan.
***
Ketika di tahun-tahun berikutnya, nama Ara mulai dikenal sebagai penyanyi berbakat. Lagu-lagunya mencapai banyak telinga, menembus banyak panggung dan membawa cerita tentang cinta, kehilangan, dan keberanian untuk bermimpi bagi para penggemarnya.
Di setiap konsernya, Ara selalu menyanyikan satu lagu khusus yang ia dedikasikan untuk seorang pria yang pernah singgah dalam hidupnya, seorang pria yang mengajarinya bahwa cinta tidak harus memiliki, cukup untuk diingat selamanya.
Sementara itu, Alaric, di sudut dunia yang berbeda, masih memotret langit senja dan bayangan gurun. Setiap kali ia melihat jingga di langit, ia tersenyum kecil, teringat pada seorang wanita dengan suara yang mampu menghentikan waktu.
Mereka tidak pernah bertemu lagi. Namun, dalam hati mereka masing-masing, cinta itu tetap hidup, seperti senja yang abadi di bawah langit Arizona.