Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menerima undangan itu.
Dan di sinilah aku sekarang ini. Berada di kerumunan orang yang berdesakan berusaha menemuiku. Beberapa orang panitia menjadikan dirinya pagar manusia untuk membatasi pengunjung yang berusaha menjabat tanganku.
“Mas, ini aku, Yasmin,” ujar seseorang dari kerumunan orang-orang itu. Aku melihatnya dengan sedikit terkejut. Seorang gadis bermata almond, berbinar dengan senyum merekah, dan langsung mengingatkanku pada seseorang yang selama ini sering chat denganku di sebuah platform.
Aku seperti tertarik sebuah magnet besar, berhenti dan memandangnya tak percaya.
“Yasmin, kita harus ketemu nanti,” ujarku, tak bisa memikirkan kata-kata lain selain itu karena penjaga rombongan terus mendesakku agar tak berhenti, karena membuat kerumunan menyemut dan jalan menuju area acara macet semakin tidak terkendali.
Sepanjang jalan itu, meski aku menebar senyum, tapi pikiranku tertinggal jauh di barisan belakang, di mana Yasmin berada.
Menurutku ini luar biasa. Memang aku mengirimkan notifikasi untuknya, jika aku mengisi acara Youth Motivation Weeks di Tunjungan Plaza minggu ini.
Tapi aku tak menduga ia akan serius meresponsnya dengan datang dari tempat tinggalnya yang jauh dari kota lain. Karena ia hanya membalasku dengan sebuah harapan doa agar semuanya lancar. Tak menyebutkan keinginannya untuk datang, apalagi bisa bertemu. Padahal aku berharap dan menunggu ia mengatakannya.
Mengapa harus aku yang begitu menginginkan pertemuan itu? Apakah dia tidak merasakan sesuatu, seperti keinginan untuk bisa bertatap muka?
Jadi aku tak membayangkan pertemuan akan secepat ini dan dengan cara yang tak terduga. Tapi aku suka dengan kejutan yang dibuatnya. Aku menduganya begitu—kejutan.
Aku merasakan seperti terkena sindrom romantisme jatuh cinta yang aneh. Tapi benarkah ini cinta? Bukankah di antara kami hanya sebatas teman—atau paling tidak sahabat chatingan?
Acara sedikit terlambat karena kerumunan dan desakan di pintu masuk yang tidak diduga panitia akan terjadi.
Aku berusaha segera tampil untuk membuat suasana menjadi hangat setelah semua keterlambatan itu. Aku diberi waktu satu setengah jam untuk sesi pertamaku sebagai keynote motivator.
Aku berusaha membangun pendekatan dengan seluruh audiens sepanjang sesi tersebut. Tapi mataku tak bisa menipu, mencari-cari sosoknya—Yasmin—di antara seribuan tamu yang hadir.
Sebelum akhirnya masuk sesi materi, aku berdiri. Mungkin yang aku sampaikan terlalu personal dan tidak pada tempatnya.
Aku berusaha menggunakan kemampuanku untuk membangun sebuah gagasan untuk memotivasi dengan memanfaatkan momentum, padahal semuanya hanya karena rasa yang membuncah di rongga dada yang tak lagi bisa menunggu.
“Jauh saya datang ribuan mil dari kotaku, aku juga ingin menyapa seorang guru berdedikasi dari sebuah desa terpencil. Ia kini berada di antara kita semua.”
Seseorang tiba-tiba berdiri, di tempat yang hampir tak terjangkau pandanganku.
“Mbak Yasmin! Akhirnya!” Suaraku nyaris terdengar seperti berteriak, karena rasa gembira yang tiba-tiba meledak.
Aku melihat jauh di antara para tamu yang hadir seorang gadis dengan baju terusan berwarna peach, berwajah riang dengan senyum yang teduh.
“Terima kasih, saya pribadi merasa sangat bahagia, karena kehadiran Mbak menjadi motivasi bagi banyak orang untuk tak pernah menyerah dan terus berjuang,” ujarku, lalu memintanya duduk kembali, setelah memberi waktu memperkenalkan dirinya. Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi jika terlalu lama memandangnya, lagi dan lagi.
“Aku hampir meleleh gara-gara barusan,” ujar Yasmin kepada Jesi, teman sesama guru yang bekerja di desanya itu.
“Gila! Kamu kenal di mana, Yas? Cowok seganteng itu!” Jesi sampai mengguncang-guncang bahu Yasmin sebelum akhirnya memeluknya tak percaya.
“Dia temanku di sebuah platform. Dia itu penulis. Ya, aku chat dia suatu hari, dan dia meresponsnya—bukan cuma dengan baik, tapi seperti bersuka cita. Padahal dia tak mengenalku sebelumnya, dan dia sama sekali tak tahu bagaimana rupaku—kecuali satu hal: aku menceritakan padanya jika aku seorang guru.”
“Dia langsung jatuh cinta sama kamu?” cecar Jesi.
“Maksudnya?”
“Kalian saling jatuh cinta, kan, setelahnya?” Kali ini giliran Jesi yang bingung dengan jawaban Yasmin.
“Mana aku tahu dia jatuh cinta sama aku. Meskipun hati dan ucapan di antara kami mungkin menyiratkan itu, tapi sama sekali kami tak pernah bicara soal hati.”
“Maksudmu, kamu nggak paham dengan caranya mengatakan sesuatu, memandangmu tadi? Kamu nggak tahu bagaimana wajah orang sedang jatuh cinta?” Jesi marah karena Yasmin seolah cuek dengan semuanya.
Setengah mati Yasmin berusaha untuk menyembunyikan rona wajahnya yang memerah. “Aku tak mau menebak-nebak. Yang ada, aku akan mengulang pahit masa lalu,” ujar Yasmin cuek. Padahal hatinya nyaris meledak karena tak bisa mengendalikan pendar cintanya.
“Tapi... tapi Yasmin, kamu berhak menentukan hidupmu mau jadi apa, dan mau dibawa ke mana, kan? Buang semua masa lalumu, dan bangun semuanya dari awal. Bisa, kan?” Jesi mengatakannya sambil memandang tak percaya kepada teman karibnya itu.
“Sudahlah, Jes. Kenapa kamu yang sewot? Kamu jatuh cinta sama dia?” ujar Yasmin sambil matanya tak bisa lepas ke arah panggung acara.
“Ih, ya nggak lah. Aku bukan cewek penikung. Kecuali kamu nggak mau,” ujar Jesi sambil tertawa kecil.
“Kamu itu aneh, Yas. Dijatuhcintai kok cuek. Kalau aku jadi kamu, sudah aku sambar tuh cowok,” Jesi mengatakannya dengan wajah kesal dan mulut dimonyongin.
Moderator terdengar mengumumkan sesi tanya jawab dimulai.
“Untuk sesi pertama, lima penanya kami beri kesempatan dan akan dijawab sekaligus nantinya,” ujar moderator membuka sesi.
Secepat kilat Yasmin berdiri dan mengangkat tangan, sebelum Jesi tersadar dengan situasi di ruangan itu.
Dan di atas panggung, jantungku nyaris terlompat melihatnya berdiri, dengan senyum yang mematikan!