Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kiara, bangun. Ayo jalan-jalan," suara itu menggema lagi dalam mimpiku yang berulang-ulang seperti dejavu. Aku membuka mata, samar-samar melihat siluet seorang wanita yang begitu kukenal, meski rona wajahnya kabur diterpa cahaya pagi. Tangannya yang halus menggenggam pergelangan tanganku, mengajakku berdiri.
"Ibu?" tanyaku, hampir seperti bisikan. Tapi aku tahu itu dia. Tidak ada suara lain yang bisa mengguncang hatiku seperti ini.
"Iya, Nak. Sudah lama ya kita tidak bersepeda bersama?" senyumnya sehangat matahari yang perlahan menyusup dari celah tirai kamar.
Aku tidak menjawab, hanya mengikuti langkahnya menuju halaman. Di sana, sepeda biru tua yang dulu menjadi teman setia kami menunggu. Warna catnya sudah pudar, tetapi terasa utuh dalam ingatanku.
Kami melintasi jalan setapak di bawah rimbun pohon flamboyan yang bunganya luruh merah disepanjang jalan setapk itu. Bayang-bayang dedaunan menari-nari di wajah kami, diiringi angin lembut yang memeluk kulit.
"Ibu, kenapa tiba-tiba datang?" tanyaku sambil mengayuh sepeda. Suaraku bergetar, setengah berharap ini bukan mimpi, tetapi setengah sadar bahwa semuanya mungkin hanya ilusi.
"Aku tidak pernah pergi, Kiara," jawabnya dengan nada yang begitu tenang. "Aku selalu ada, hanya saja kau mungkin tidak selalu melihatku."
Hatiku tercekat. Aku tahu, ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Sesuatu yang selama ini terjebak di ujung lidahku, menunggu saat yang tepat. Tapi keberanian selalu kalah oleh rasa takut.
Kami berhenti di sebuah taman kecil yang terletak di tengah perjalanan. Bangku kayu yang kami duduki terasa dingin, tetapi keberadaan ibu membuat segalanya hangat.
"Ibu, aku rindu," akhirnya aku mengaku, suaraku serak. "Tapi kenapa ibu pergi sejauh itu? Kenapa ibu tinggalkan aku?"
Ia tersenyum, tetapi senyum itu menyimpan kesedihan yang tidak bisa kusebutkan.
"Kiara, ada kalanya seorang ibu harus pergi, bukan karena ia ingin, tetapi karena itulah jalan yang harus diambil."
Aku menunduk, memandangi tanah yang dipenuhi dedaunan kering. "Tapi aku tidak pernah mengerti kenapa. Aku merasa seperti kehilangan separuh jiwaku."
Ia mengulurkan tangan, menyentuh pipiku yang dingin oleh air mata yang mulai mengalir.
"Kehilangan adalah bagian dari hidup, Kiara. Tapi kehilangan tidak pernah benar-benar menghapus keberadaan. Aku ada di sini, di hatimu. Selalu."
Kami melanjutkan perjalanan. Sepeda itu meluncur perlahan, seperti waktu yang berjalan lebih lambat. Aku tidak ingin momen ini berakhir. Aku ingin terus berada di bawah bayang flamboyan, bersama ibu, di dunia kecil kami yang penuh kehangatan.
"Kiara," katanya tiba-tiba. "Apa kau masih ingat ulang tahunmu yang ke-10?"
Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. "Ibu membuatkan klapetart, meskipun aku tahu itu kali pertama ibu mencoba resep itu."
Ia tertawa kecil, suara yang begitu kurindukan. "Dan kau memakannya dengan senyum lebar meski aku tahu rasanya tidak sempurna."
"Itu kue terenak yang pernah kumakan, Bu," kataku jujur. "Karena ibu membuatnya dengan cinta."
Ia menoleh padaku, matanya yang penuh kasih membuatku merasa seolah dunia berhenti sejenak.
Langit mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga keemasan. Kami berhenti di sebuah bukit kecil yang menghadap ke hamparan sawah. Ibu turun dari sepeda, duduk di rerumputan, dan mengajakku untuk duduk di sampingnya.
"Kiara, ada sesuatu yang ingin kuberitahu," katanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Aku menoleh padanya, menunggu dengan jantung berdebar.
"Aku selalu mengamatimu, meski dari jauh. Aku bangga denganmu, Nak. Dengan caramu menghadapi dunia, dengan caramu mencintai hidup, meski aku tidak ada di sana untuk mendampingimu."
"Tapi, Bu," suaraku pecah. "Aku selalu merasa kosong. Seperti ada lubang besar yang tidak pernah bisa kututup."
Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Lubang itu, Kiara, adalah ruang untuk cinta. Cinta yang tidak pernah hilang, meski kita terpisah oleh jarak atau waktu."
Aku terdiam, meresapi kata-katanya. Angin senja mengelus wajahku, membawa aroma rumput basah dan dedaunan.
"Ibu, apakah ini nyata?" tanyaku akhirnya, dengan suara kecil.
Ia tersenyum, senyum yang terasa seperti jawaban untuk semua pertanyaanku.
Ketika aku membuka mata, aku kembali berada di kamarku. Suasana sunyi, hanya ada suara detak jam yang menemani.
Seolah aku bisa mencium wangi dan manis klaetart itu, di meja kecil di samping tempat tidurku. Tempat Ibu selalu meletakkan kue itu jika memberi kejutan untuk ulang tahunku.
Air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Apakah itu mimpi, ataukah ibu benar-benar hadir? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, cinta ibu selalu ada.