Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku mengenalnya sejak kelas sepuluh. Namanya Kinan. Satu-satunya cewek yang berhasil membuat perhatianku beralih dari sepeda motorku yang berisik itu.
Kinan berbeda. Dia bukan tipe cewek yang suka duduk di di boncengan motor cowok sambil menjerit-jerit setiap motor melaju. Kinan lebih suka duduk di pojok kelas sambil membaca buku atau mencoret-coret sesuatu di buku catatannya.
“Kamu suka nulis, ya?” suatu hari aku mencoba berbasa-basi—ice breaking.
Kinan menoleh, terlihat sedikit terkejut, tapi kemudian tersenyum.
“Iya. Kadang kalau nggak ada kerjaan,” jawabnya ringan.
Aku mengangguk, mencoba terlihat santai meskipun jantungku berdegup kencang.
Itulah Kinan, cewek yang selalu terlihat sederhana, tetapi entah kenapa selalu bisa membuat duniaku terasa lebih terang.
***
Hari-hari berlalu, dan aku semakin sering mencari-cari alasan untuk bicara dengannya. Dari sekadar menanyakan tugas matematika sampai menawarkan tumpangan ke sekolah. Tentu saja dia sering menolak, dengan alasan dia lebih suka jalan kaki.
“Aku nggak apa-apa, kok. Jalannya juga deket,” katanya sambil tersenyum. Senyum itu lagi.
Tapi aku nggak menyerah. Aku tahu, Kinan punya dunia sendiri yang dia lindungi rapat-rapat. Dunia yang ingin aku masuki, meskipun aku harus mengetuk pintunya berkali-kali.
Perlahan, aku mulai bisa memahami dunianya. Buku-buku yang dia baca, cerita-cerita yang dia tulis. Kinan suka hal-hal sederhana, seperti hujan di sore hari atau langit yang berubah warna saat senja.
Sampai akhirnya, dia memberiku sesuatu yang mengejutkan.
“Ini buat kamu,” katanya sambil menyerahkan sebuah buku.
Aku membuka bagian buku yang berisi sepucuk surat. Tulisan tangan Kinan yang rapi memenuhi halaman itu. Surat itu bukan pengakuan cinta atau semacamnya. Itu lebih seperti potongan kecil dari pikirannya. Tentang harapannya, mimpinya, dan sedikit tentang rasa takutnya.
“Kenapa kasih aku?” tanyaku benar-benar merasa bingung.
Dia hanya mengangkat bahu. “Nggak tahu. Aku cuma pengen kamu tahu.”
Sejak hari itu, hubungan kami berubah. Aku mulai tahu bahwa Kinan suka es krim stroberi, meskipun dia selalu bilang dia lebih suka cokelat. Aku tahu bahwa dia takut gelap, tapi dia selalu pura-pura berani. Aku tahu bahwa dia punya mimpi besar untuk menulis buku, meskipun dia ragu apakah mimpinya akan tercapai.
“Kamu pasti bisa,” kataku suatu hari.
Dia menatapku dengan penuh keraguan. “Kamu terlalu percaya sama aku.”
“Karena aku tahu kamu bisa.”
Aku tak pernah terang-terangan mengatakan bahwa aku suka dia. Tapi aku tahu, dia tahu. Kami tidak butuh kata-kata untuk menjelaskan apa yang ada di antara kami.
Sampai suatu hari, Kinan tiba-tiba menghilang. Dia tidak datang ke sekolah. Tidak ada kabar apapun darinya.
Aku mencoba menghubunginya, tapi tidak pernah ada jawaban. Hari itu menjadi hari pertama dari minggu-minggu yang membuatku terasa kosong.
Kamu tahu kan bagaimana rasanya sedang sayang-sayangnya, tapi seseorang itu tiba-tiba menghilang?.
Tiga minggu kemudian, aku mendapat kabar dari temannya. Kinan sakit. Sakit yang cukup serius sehingga dia harus berhenti sekolah. Aku mencoba mengunjungi rumahnya, tapi keluarganya bilang dia sedang tidak bisa ditemui siapa-siapa.
Aku merasa seolah-olah dunia yang biasanya penuh warna tiba-tiba menjadi abu-abu. Aku merasa kehilangan bagian penting dari hidupku.
Hingga suatu sore, setelah hampir sebulan tanpa kabar, aku menerima sebuah paket. Paket itu berisi sebuah buku catatan. Di halaman pertama, ada tulisan tangan Kinan.
“Untuk Dilan. Terima kasih sudah percaya padaku.”
“Aku tahu aku tidak akan punya banyak waktu. Tapi aku bersyukur bisa mengenalmu. Kamu adalah alasanku layak untuk bermimpi. Meskipun aku tidak tahu apakah aku akan sempat mewujudkan mimpi itu, aku ingin kamu tahu bahwa kamu adalah bagian dari mimpiku.”
Surat itu ternyata salam perpisahan dari Kinan. Dia telah pergi, tapi tidak pernah meninggalkan hatiku.
Rasanya seperti pepohonan di musim gugur yang daunnya luruh bersama angin. Tapi ia akan kembali bersemi di lain waktu.
“Aku menulis bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi untuk seseorang yang percaya pada mimpiku ketika aku hampir menyerah. Tulisan ini adalah untuknya. Untuk Dilan.” Begitu tulisnya disalah satu catatannya. Dan aku kini terus menulis, untukku, juga untuknya.