Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam telah larut di Jakarta. Gerimis lembut mengetuk kaca jendela taksi yang melaju pelan melewati jalan-jalan kota yang lengang. Lampu-lampu jalan memantulkan bayangan cahayanya pada aspal basah, menciptakan suasana melankolis yang tak terelakkan.
Aku duduk di dalam taksi, menahan lelah yang menguasai tubuhku sejak tadi. Kerja-kerja tanpa henti itu terasa menyiksa, menyita waktu dan pikiranku.
Teman-teman sudah lebih dulu pulang dari tadi dengan kendaraan masing-masing, memilih memakai mantel hujan tak mau menunggu dan meninggalkanku di puncak hening malam.
Ketika taksi melintasi sebuah sudut jalan di Kuningan, pandanganku tertumbuk pada sosok kecil yang tengah berdiri di bawah bayang-bayang pohon besar dengan baju basah. Seorang anak perempuan, mungkin tak lebih dari delapan atau sembilan tahun.
Rambutnya yang kusut basah oleh gerimis, bajunya yang terlalu besar dan penuh noda membungkus tubuh mungil yang pasti menggigil kedinginan.
Mataku tiba-tiba terasa kabur, terhimpit rasa yang sulit dijelaskan. Aku meminta sopir taksi berhenti, berniat membuka kaca jendela.
Di luar jendela, gadis kecil itu menoleh, wajah letihnya terlihat sedih. Memandangiku dengan mata besar seolah bertanya, “Kenapa kau peduli?”
Aku membuka dompet, bermaksud memberinya uang. Namun, sopir taksi menggeleng tegas dari depan.
“Bahaya, Mbak. Jangan kasih uang. Kadang mereka itu disuruh orang buat ngemis. Kalau mbak kasih, malah bikin mereka terus-terusan dipaksa kayak gitu,” ujarnya.
"Mereka bisa menggores mobil atau merampas barang" lanjutnya lagi.
Aku ragu sejenak. Sopir taksi terus mengingatkanku soal bahaya. Tapi hatiku berontak.
Bagaimana mungkin seorang anak kecil seperti dia tidak dalam bahaya di malam seperti ini?. Tapi justru mengancam bahaya.
Aku menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dadaku. Tak ada kata yang mampu keluar, hanya tatapan kami yang bertahan sejenak sebelum sopir melajukan taksi menjauh. Bayangan anak itu perlahan memudar di balik gerimis.
***
Malam itu, aku tak bisa tidur. Berbaring di kasur yang hangat, tapi justru membuatku tak nyaman. Wajah anak perempuan itu terus muncul dalam pikiranku.
Bagaimana mereka menjalani hari-hari? Apakah hidup mereka sunyi dari kasih sayang? Ataukah ada orang yang memaksa mereka bekerja keras demi mendapatkan belas kasihan orang lain?
Bayangan itu terasa seperti duri dalam pikiranku. Anak-anak sepertinya seharusnya berlarian di halaman rumah, tertawa riang di bawah sinar matahari, atau duduk di bangku sekolah. Tapi di malam gerimis seperti ini, dia justru ada di jalanan, berjuang melawan dingin dan rasa lapar.
Aku teringat masa kecilku sendiri. Rumah sederhana dengan ibu yang selalu sibuk di dapur, ayah yang membacakan dongeng sebelum tidur.
Ada hangat, ada cinta, ada rasa aman. Sungguh berbalik dengan kehidupan anak-anak jalanan yang setiap harinya bertahan hidup.
***
Paginya, aku memutuskan kembali ke tempat itu. Aku ingin tahu lebih banyak tentang anak itu. Tapi sudut jalan yang semalam penuh cerita kini telah kosong. basah oleh sisa hujan malam tadi.
Aku bertanya pada beberapa pedagang di sekitar, tapi tak ada yang tahu tentang anak perempuan yang kumaksud. Mereka hanya menggeleng, seolah pemandangan seperti itu sudah terlalu biasa.
Aku merasa ada yang hilang. Anak-anak jalanan yang datang dan pergi seperti bayangan, tak pernah benar-benar terlihat, tak pernah benar-benar didengar.
Malam berikutnya, aku kembali melewati jalan itu, trotoar yang sama. Ada begitu banyak anak-anak seperti dia, masing-masing dengan kisahnya sendiri.
Gerimis kembali turun, seperti malam itu. Tapi kali ini, aku melangkah keluar dari zona nyaman. Aku tahu, aku tidak bisa mengubah dunia sendirian, tapi aku percaya, setiap langkah kecil punya arti.
Untuk anak perempuan itu, dan untuk anak-anak lainnya yang tak pernah berhenti berjuang meski dunia tak berpihak pada mereka.