Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di atas jalanan yang basah oleh sisa hujan sore, lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram yang berkedip seperti mengedipkan mata letih.
Malam di kota meski selalu dipenuhi kendaraan yang berseliweran tanpa arah pasti, terkadang bisa terasa berbeda. Kadang kita juga bisa merasakan sunyi menyelimuti kota, seperti sebuah jeda panjang dari harmoni bising yang telah lama tak terputus.
Amara melangkah di atas trotoar dengan sepatu hak rendahnya, memantulkan suara yang tak seberapa namun bergema dalam pikirannya. Langkahnya mantap, seperti biasa. Rambutnya yang panjang terurai lepas, membingkai wajah yang tak pernah berhenti menarik pandangan.
Ia adalah gambaran perempuan yang seolah-olah tak membutuhkan siapa pun. Mandiri, cantik, dan tangguh – kombinasi yang sering membuat orang lain merasa gamang di dekatnya.
Namun malam ini, Amara merasakan sesuatu yang lain. Sunyi yang menyelimuti kota bukan lalu lalang kendaraan yang menghilang, atau langit yang tiba-tiba hujan tanpa cerah.
Ini adalah sunyi yang menembus hati.
Gadis itu berjalan lebih pelan, menyerap setiap bayangan pohon yang menari di bawah cahaya lampu, setiap retakan pada dinding bangunan tua, dan setiap bisikan angin yang membawa aroma aspal basah.
Di depan sebuah kafe kecil yang baru saja tutup, Amara berhenti. Ia melihat bayangan dirinya sendiri di kaca jendela yang buram.
Di sana, seorang perempuan yang tampak sempurna menatapnya balik. Tetapi, siapa sebenarnya dia? Siapa Amara di balik segala pencapaiannya, keberaniannya, dan senyum yang selalu ia suguhkan pada dunia? Sunyi malam itu menjawabnya dengan diam.
“Apa yang kau cari, Amara?” bisik suara di kepalanya.
Ia pernah berpikir bahwa kota ini, dengan segala hiruk pikuknya, akan menjadi rumah. Ia pernah merasa bahwa setiap pencapaian yang ia raih, setiap malam yang ia lewati dengan segelas anggur di apartemennya, akan mengisi kekosongan yang perlahan-lahan merambat dalam dirinya.
Tapi kota adalah paradoks.
Ruang itu telah memberinya banyak cerita, tapi juga mengambil banyak dari apa yang dimilikinya. Memberi panggung, tetapi sering kali mematikan lampu saat ia berdiri sendirian di atasnya.
Amara melanjutkan langkahnya, menyusuri trotoar menuju pusat kota yang gemerlap oleh lampu-lampu neon.
Ia selalu mencintai tempat itu. Simbol modernitas, keberanian, dan ambisi. Tapi malam ini, ia melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Pusat Kota adalah sumbu waktu yang tak pernah tidur, tetapi juga tak pernah benar-benar hidup.
***
Kota adalah cerminan dari mereka yang menghuni dan mencintainya.
Kota ini kuat, tetapi sering kali melupakan kelembutan. Ia selalu bergerak, tetapi lupa berhenti untuk sekadar bernapas.
Kota, seperti manusia yang berjuang di dalamnya, adalah potret kesepian yang ditutupi gemerlap. Dan di situlah Amara menyadari ironi hidupnya sendiri.
Di balik penampilannya yang anggun, ia membawa luka-luka kecil yang tak terlihat.
Setiap keputusan mandiri yang ia ambil adalah pengingat bahwa ia tak punya pilihan lain.
Setiap senyuman yang ia berikan adalah tameng, melindungi hati yang sesekali ingin bersandar. Tetapi kepada siapa? Dalam kota ini, semua orang sibuk dengan dunia mereka sendiri.
***
Malam itu, Amara berhenti di jembatan penyeberangan yang menghadap jalan protokol.
Kendaraan terus melintas, tetapi semuanya tampak jauh, seperti miniatur kehidupan yang tak lagi nyata.
Angin malam menyentuh wajahnya, membawa rasa dingin yang menusuk.
Ia mengangkat wajahnya ke langit. Di sana, bulan menggantung rendah, dikelilingi bintang-bintang yang samar.
“Mungkin sunyi ini adalah caranya kota berbicara,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Sunyi kota di malam hari, tak lagi terasa menghantui. Sebaliknya, ia terasa seperti diberi ruang merenung diri--tentu saja untuknya.
Ruang untuk mendengar dirinya sendiri, untuk merenungkan apa yang sebenarnya ia kejar selama ini. Apakah kesuksesan? Kebebasan? Atau hanya penerimaan atas dirinya yang utuh, tanpa perlu menjadi apa pun yang diharapkan orang lain?
Di tengah sunyi itu, Amara menemukan jawabannya. Hidup adalah serangkaian perjalanan menuju diri sendiri.
Kota hanyalah latar, manusia adalah protagonisnya. Sunyi tidak selalu berarti kesepian. Ia bisa menjadi sahabat yang menuntun kita untuk mengingat bahwa dalam riuhnya hidup, kita selalu memiliki ruang untuk berhenti, bernapas, dan menemukan makna.
Malam itu, kota tidak sekedar sunyi. Ia penuh. Penuh oleh refleksi, oleh perasaan yang akhirnya berani diakui, dan oleh kehangatan yang lahir dari keberanian seorang perempuan untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
Amara tersenyum kecil. Ia tahu bahwa esok hari, ia akan kembali melangkah di bawah matahari kota. Tetapi malam ini, ia akan berjalan lebih lama di bawah bulan, menikmati sunyi yang kini sedang menjadi teman.