Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah seharian mengintai, kudapatkan juga peluang cantik. Wanita muda di mesin penghitung uang beserta seorang wanita yang duduk memunggunginya dan seorang SATPAM yang sedang menurunkan tirai-tirai kaca tak jauh dari keduanya, bisa kuatasi seorang diri.
Aku keluar dari toilet dan menodongkan pistol ke arah mereka sambil menggertak, “Masukkan semua uang! Kalian tidak akan mati!"
Si Wanita yang sedang menghitung uang, menangis seketika saat kantong plastik hitam besar kulemparkan padanya. Si Satpam, terdiam di tempatnya dan langsung mengangkat kedua tangan ke atas kepalanya. Namun, si Wanita satu lagi segera bangkit berdiri dan mendekatiku dengan marah-marah.
“April mop yang tak lucu!” hardiknya. “Keluar! Jangan main-main di bank. Berurusan dengan polisi nanti!” Ia memperlihatkan ponsel pintarnya sebagai isyarat bakal menelepon kantor polisi jika aku tak segera pergi.
Alangkah terkejutnya aku, aku sama sekali tak tahu kalau ia bekerja di tempat ini dan sedikit keder begitu ia mengacungkan tinjunya. Bagaimanapun juga ia adalah mantan atlet silat peraih mendali emas PON ketika SMA dulu. Aku pergi segera setelah melepaskan sebo dari wajahku, sebab, ia juga mengancam akan melemparku dengan apel yang ia keluarkan dari kantong bajunya—membawa apel adalah kebiasaannya yang tetap kuingat hingga hari ini. Dulu, demi mendapatkan perhatiannya, hampir setiap hari aku menghadiahinya buah itu.
Dan, tentulah ia dapat mengenaliku meski tadi wajahku tertutup sebo. Suaraku yang serak, cepat akrab di telinga semua orang. Lagi pula kemarin kami baru berjumpa di pinggir jalan yang melintang di tengah sawah kota kecil ini.
Aku sengaja singgah di sebuah kedai kecil untuk melepaskan lelahku sambil minum air kelapa muda dan meliarkan pandangan ke hamparan sawah di seberang jalan. Perjalananku berbulan-bulan dengan motor besar tanpa arah akhirnya menemui tujuannya ketika seorang wanita lewat di depanku.
“Popai!” Sebenarnya namanya Popi, tapi aku menamainya Popai.
Popi berpaling ke arahku. Angin sawah tak lagi leluasa menyentuh poni di dahinya, tak lagi bermain-main dengan kepangan rambut panjang hitam berombak yang disampir di bahu kirinya, sehingga lesung pipi di wajahnya yang kecokelat-cokelatan itu dapat terlihat jelas olehku. Aku tak salah orang.
“Kong?! Kong, kan?”
“Memangnya ada Jelangkong lain di sekolah kita?”
Karena posturku kurus tinggi, aku dipanggil Jelangkong dulunya. Kami tertawa sebentar merayakan pertemuan kami setelah lima tahun meninggalkan bangku SMA, lalu berbicara banyak hal dan cukup lama, hingga muncullah kenekatanku untuk berterus terang ingin menikahinya.
“Tradisi di sini, tiga puluh mayam emas dan tiga puluh juta uang, kontan!”
“Sebagai mahar?” Aku memastikan, lalu mengeluarkan pistol korek api dan membakar sebatang rokok untuk meredam kegugupanku.
“Iya, tapi aku maunya uang digital saja.”
“Uang digital?”
“Aman dari perampokan.”
“Aku sanggupi,” kataku mantap meskipun aku tak punya uang sebanyak itu, dan kata-kata merampok terus mengiang di pikiranku.
“Kong!”
Aku yang sedang berjalan sambil melamun berhenti mendadak tepat di pintu pagar dan segera menoleh ke belakang.
“Masalah mahar, itu mopku saja. Jangan terlalu dipikirkan. Berikan semampumu.”
Merekahlah senyumku.
"Dan, aku ingin lima G."
"G?"
"Giatlah bekerja. Gabah selalu tersedia. Garaplah sawah peninggalan ayahku. Gembirakanlah aku."
"Satu G lagi?"
"Ingin secepatnya .... Gaba-gaba menghiasi rumahku!"
"Aku bersedia!"
"Satu lagi!"
"Apa?"
"Hadiah apel!"
Tawa kami mengisi senja.
Ya ampun Kak Farid.. olive lg kehabisan bayam....
Mau nikah kena mop duluan.
Bahaya juga.