Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bel pintu depan berbunyi, memecah kesunyian ruang tamu Sarah. Suara itu begitu familiar, membuat Sarah terjaga dari lamunannya. Dia terbangun dari duduknya di kursi panjang yang menghadap ke jendela, mengamati langit yang semakin senja. Dia membuka pintu, dan di depan sana berdiri sahabat baiknya, Feby, dengan senyuman cerah yang selalu mampu mengusir kesedihan di hati.
“Feby!” seru Sarah sambil melangkah maju dan memeluk sahabatnya erat. “Kamu datang juga akhirnya. Masuk, masuk!” Feby tertawa, senyumannya lebar meski ada sedikit kelelahan di matanya. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam rumah yang sepi, hanya ada mereka berdua yang mengisi ruang tamu yang hangat.
Pintu tertutup rapat, dan mereka duduk di sofa panjang yang sudah menunggu. Pemandangan di luar jendela terlihat indah, matahari yang perlahan tenggelam, namun suasana di dalam rumah terasa jauh lebih hangat. Meskipun hanya ada dua orang, obrolan mereka seolah mengisi seluruh ruang.
“Ada apa, Feb?” tanya Sarah lembut. Feby hanya tersenyum, tetapi Sarah bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam diri sahabatnya. Feby menghela napas panjang sebelum mulai berbicara.
“Sarah,” katanya pelan, “aku khawatir dengan Arya belakangan ini.” Sarah memandang Feby dengan tatapan penuh perhatian. Feby adalah wanita yang penuh percaya diri, dan biasanya ia tak pernah terlalu terbuka tentang masalah pribadinya. Tetapi, kali ini berbeda.
“Ada apa dengan Arya?” tanya Sarah penasaran.
Feby menggigit bibirnya, tampak ragu untuk melanjutkan. Namun akhirnya ia melanjutkan, “Dia makin menjauh belakangan ini. Seperti ada yang berubah. Dia semakin sibuk dengan pekerjaannya, bahkan sering pulang larut malam. Kadang aku merasa seperti dia... menyembunyikan sesuatu dariku. Ada teman kantornya, Sarah. Seorang perempuan. Aku khawatir mereka... entah, mungkin lebih dari sekadar rekan kerja.”
Sarah mendengarkan dengan seksama. Sahabatnya itu tampak tertekan, dan Sarah bisa merasakan betapa berat beban yang dirasakan Feby. “Coba bicara dengan dia, Feb. Jangan biarkan perasaan itu menumpuk di dalam hatimu,” saran Sarah. “Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Mungkin Arya hanya lelah karena pekerjaan. Terkadang kita terlalu banyak berasumsi, kan?”
Feby mengangguk pelan, namun raut wajahnya tidak berubah. “Aku sudah mencoba, Sarah. Tapi dia selalu mengalihkan pembicaraan. Kalau aku tanya lebih jauh, dia malah menghindar. Aku takut kalau aku terlalu menekan, dia malah semakin menjauh.”
Sarah menghela napas. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Feby. Terkadang kita tidak bisa memaksa orang lain untuk terbuka. Tapi yang penting adalah kamu berusaha memahami, dan jangan biarkan rasa curiga itu menghancurkan hubungan kalian.”
Feby tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa dipaksakan. “Aku berharap kamu benar, Sarah. Aku tidak ingin hal ini merusak hubungan kami, tetapi...” Feby terdiam, matanya menerawang, seperti ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin ia ungkapkan, namun tidak bisa.
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika ponsel Sarah berbunyi. Dia meraih ponsel dari meja samping sofa, melihat layar yang menunjukkan nama ‘Arya’. Matanya sedikit terkejut. Aneh. Kenapa Arya malah meneleponku?
“Maaf sebentar, Feb,” kata Sarah, mengangkat telepon dengan sedikit khawatir. “Halo?” Sarah berkata, suaranya terdengar ragu.
Di ujung telepon, suara Arya terdengar berbeda. Tidak seperti biasanya. Ada nada kesedihan dalam suaranya, sesuatu yang Sarah tidak pernah dengar sebelumnya.
“Sarah,” kata Arya dengan suara berat, “aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Ada berita buruk yang harus aku sampaikan.”
Sarah merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Berita buruk? Kamu terdengar aneh. Apa yang terjadi?” tanyanya, mulai merasa cemas.
“Ada kecelakaan, Sarah,” kata Arya, suaranya terdengar semakin rapuh. “Feby... Feby baru saja kecelakaan. Dia... dia meninggal."