Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sigit terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Nafasnya berat, tubuhnya terhubung dengan berbagai alat medis yang memantau detaknya yang semakin pelan. Di sampingnya, Susan, putrinya, duduk di kursi dengan wajah penuh kelelahan. Dia tak pernah jauh dari ayahnya sejak tragedy yang mengerikan itu.
Sigit menjadi korban perampokan dengan luka tusuk di pinggangnya. Bahkan mobilnya pun dibawa kabur oleh pelaku. Sekarang ia koma tak berdaya. Namun, Susan tetap setia menunggu, tak rela meninggalkan ayahnya meskipun hanya untuk sesaat.
Suasana hening, hanya terdengar suara detak mesin dan sesekali suara batuk pelan dari Sigit. Susan yang terpejam mendengar suara itu, terbangun dengan terkejut.
“Pa... Papa batuk?” tanyanya dengan suara cemas, matanya terbuka penuh perhatian.
Sigit membuka matanya yang sudah semakin redup. “Susan...” suaranya serak, tetapi ada secercah senyum yang tersisa di wajahnya yang mulai pucat. “Papa melihat cahaya... di ujung terowongan.”
Susan menatap ayahnya dengan penuh perhatian. “Cahaya?” tanyanya lembut, tak bisa menutupi rasa khawatir yang menggelayuti hatinya.
“Iya,” Sigit melanjutkan, suaranya semakin lemah. “Papa berjalan... menuju cahaya itu. Rasanya... damai sekali. Semua rasa sakit Papa hilang. Papa merasa tenang.”
Susan menggenggam tangan ayahnya dengan erat. Perasaan campur aduk di dalam hatinya. “Terus apa yang terjadi, Pa?"
Sigit melanjutkan ceritanya dengan suara bergetar. Terowongan itu gelap, hampir tak ada cahaya sama sekali. Dindingnya terlihat samar, dengan tekstur kasar. Sigit berjalan, langkahnya pelan namun pasti, tubuhnya terasa ringan, seolah-olah bebas dari segala rasa sakit. Udara di dalam terowongan itu dingin, tetapi tidak mengganggu. Justru, ada rasa damai yang meliputi dirinya, seolah-olah dia sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat yang penuh ketenangan.
Di kejauhan, sangat jauh, ia mulai melihat sebuah titik kecil yang berkilau. Awalnya hanya sebuah cahaya samar, tetapi semakin ia melangkah, semakin terang dan besar cahaya itu terlihat. Cahaya itu tidak menyilaukan, melainkan hangat dan menariknya lebih dekat. Terowongan itu mulai terasa semakin luas, seolah memberi ruang bagi dirinya untuk bergerak dengan bebas.
Akhirnya, Sigit merasa tiba di ujung terowongan. Cahaya di depannya kini begitu terang, namun lembut, seperti matahari terbenam yang hangat dan menenangkan. Dia mengangkat tangannya, terpesona oleh keindahannya, merasakan kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dia tahu, di balik cahaya ini, ada sesuatu yang menunggunya.
Namun, tiba-tiba, sebuah perasaan menggelitik muncul di hatinya. Sebuah ingatan tentang seseorang, tentang putrinya, Susan. Suara lembutnya terdengar di telinga Sigit, membangkitkan rasa rindu yang kuat. Dia teringat betapa ia belum siap meninggalkan dunia ini. Dia belum siap untuk berpisah dengan orang yang paling ia cintai. Dengan kesadaran itu, langkahnya terhenti.
“Tapi tiba-tiba... Papa merasa ada yang salah. Papa tersadar, Susan. Papa bangun lagi.” Sigit tersenyum lemah. “Papa tidak mau pergi. Papa belum siap. Papa ingat kamu, Susan.”
Susan menghela nafas lega, matanya berkaca-kaca. “Pa, aku sangat senang Papa bangun.” Susan memeluk ayahnya. Airmatanya terjatuh.
Sigit tertawa pelan, meski suaranya hampir tak terdengar. “Kamu pasti lelah, ya, menjaga Papa begini?” Dia menatap putrinya dengan tatapan sayang. “Wajah kamu pucat. Istirahatlah, Susan. Kamu harus tidur.”
Susan memandang ayahnya dan mengangguk pelan. Dengan hati-hati, dia berjalan menuju sofa di sudut kamar VIP rumah sakit, meletakkan tasnya, dan duduk. Dia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang. Matanya perlahan terpejam, dan ia pun tertidur di sana, di antara harapan dan kenyataan yang berbaur.
Namun, saat terbangun, sesuatu yang aneh terjadi. Susan memeriksa jam dinding lagi. Jam masih menunjukkan pukul satu siang! Dia tercengang, heran, dan melihat sekeliling. Ayahnya masih terbaring di ranjang, masih tidur. Sigit tampak sangat tenang, tak seperti sebelumnya.
Baru saja Susan hendak bangkit, pintu kamar terbuka, dan seorang suster masuk.
“Suster, bagaimana keadaan ayah saya?” tanya Susan, masih kebingungan.
Suster itu menatap Susan dengan tatapan yang serius. “Maaf. Kami akan membawa pasien ke kamar jenazah.”
Seketika, tubuh Susan kaku. “Apa? Tidak... tidak mungkin! Tadi, tadi saya ngobrol dengan ayah saya. Kami baru saja bicara!” Suaranya gemetar, tak bisa menerima kenyataan ini.
Suster itu menarik nafas panjang. “Maaf, Nona. Ayah Anda sudah dinyatakan meninggal dunia pukul 12 siang tadi.”