Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Perempuan yang Bicara dengan Nisan
0
Suka
29
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Rindang melipat doa di tengkuk nisan Rimbun. Ditatapnya nisan Rimbun dalam buai tetes-tetas air mata. Mata Rindang basah. Air matanya jatuh saputi hari fitri esok tanpa Rimbun di sisinya. Air mata Rindang mengalir turun melewati ngarai kelopak mata, membelah belantara bulu mata, dan berhenti sejak di bukit pipi. Menetas bersama doa tentang beriringan dan tiadanya lakon itu lagi, esok.

    Bukan Rimbun yang menyudahi sedianya untuk terus beriring jangkah dengan Rindang. Air mata Rindang yang menetes-menetas tahu itu. Tapi Rindang juga bukan pendosa, yang bisa mengutuk-menghujat takdir sebagai pedang kejam yang bisa menebas harap-ingin semau-Nya.

    Setitik air mata menumbuk dahi nisan. Rindang melenguh panjang.

    “Nyenyak tidurmu, Rim,” tanpa sadar bibirnya luncurkan sebaris tanya, kalau boleh itu disebut sebagai sebuah pertanyaan.

    Nisan bukan kotak putih Charlie dalam Charlie’s Angels, yang diam di sudut namun bisa menyapa dan menjawab tanya. Nisan Rimbun masih sebisu petang-petang sebelumnya, berbaris di antara nisan-nisan yang lain, menulis puisi tentang kehilangan dari orang-orang yang mencinta, dan menjadikannya antologi ketika petang beringsut.

    “Rim, puasa tahun ini nggak ada yang membangunkanku sahur… Liat, berat badanku turun, Rim. Kamu pasti suka, aku makin langsing sekarang,” matahari segera sembunyi di balik mendung ketika Rindang mengadu pada nisan Rimbun. Petang di pemakaman itu menjadi santun.

    Saat itu beberapa orang juga memasuki area pemakaman. Tangan mereka berpegangan. Sapu tangan segera menjuntai di genggam tangan. Mata Rindang melirik pelan. Ujung matanya menangkap beberapa bulir air mata jatuh di ngarai kelopak mata, membelah belantara bulu mata, dan berhenti sejak di bukit pipi mereka. Tak sadar, Rindang mengusap matanya yang masih basah.

    Mereka juga menangis seperti aku. Mereka juga menangis seperti aku. Mereka juga menangis. Seperti Rindang.

    “Apa mereka juga pecinta seperti Rindang, Rim? Apa mereka juga memiliki cinta sejati seperti Rimbun?” di sela air mata yang meleleh dari kepundan-kepundan mata mereka, mereka melirik pada Rindang yang membuihkan tanya pada nisan di depannya.

    Tak sadar, kaki salah satu dari mereka terantuk pada sebuah nisan. Meringis sebentar. Lalu, dengan mata berair mereka mencari lagi nisan orang yang dicintanya di antara barisan nisan-nisan yang membisu.

    Dalam benak mereka menggelimang ingin pada Rindang. Kalau perempuan itu bisa berbicara dengan nisan, seharusnya kami bisa minta tolong padanya untuk bertanya pada nisan-nisan di sini; “Dimanakah nisan petanda tempat manusia yang kami cintai ditancap-semayamkan?”.

    Namun mereka terlalu segan untuk menanyakan hal itu pada perempuan yang bersimpuh manis dengan busana berkelas di landai tanah padas saat petang di pemakaman. Perempuan itu nampaknya terlalu tinggi terbang. Tak ada kepatutan jika harus menjadi bagian dari petang di pemakaman kala hari raya Idul Fitri tinggal menghitung jemari.

    Saat mereka menemukan nisan manusia yang dicintanya, khusuk doa lupakan adanya Rindang, perempuan yang sedang berbicara dengan nisan. Mereka tak sadar bahwa Rindang telah menyeret jangkahnya tinggalkan tempat yang dipadat-sesaki barisan nisan tersebut.

    Jangkah mungilnya ringan mengayun. Air matanya telah kering menetes-menetas. Longgar di dadanya detakkan kesegaran di alir darahnya. Jantung Rindang terasa memiliki tenaga baru untuk mendukung denyut hidup perempuan yang dinaunginya. Rindang merasa lebih menjadi manusia.

    Sopir pribadinya tersenyum menyambut.

    “Ke kompleks pemakaman mana lagi, Bu?”

    Rindang menggeleng pelan, “Untuk hari ini, cukup, Pak,”

    Tanpa untaian kata-kata lagi, sopir muda membukakan pintu mobil. Mesin pun segera menyala, dan nyaris tanpa suara mobil mewah itu meninggalkan jejak aroma bahan bakar di udara pintu masuk tanah pemakaman.

    Mata sopir muda itu melirik Sang Majikan di kursi belakang. Rindang masih menunduk manis, tangannya mengeluarkan HP dari dalam tas. Dibukanya lagi pesan yang sudah setahun lebih tersimpan. Dibacanya untuk kali ke sekian kali. Ritual yang selalu dilakukan ketika beranjak meninggalkan tanah pemakaman.

    “Innalillahi wa innailaihi roji’un. Pak Rimbun meninggal pada penggalian 2 jam lalu, nampaknya jenazahnya tidak bisa kami evakuasi karena bisa menyebabkan longsor yang lebih parah lagi. Perusahaan mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya.”

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Gold
KKPK Ide Misterius
Mizan Publishing
Novel
DANTE
Dewanto Amin Sadono
Flash
Bronze
Tetangga Depan Rumah
qiararose
Flash
Perempuan yang Bicara dengan Nisan
Anjrah Lelono Broto
Flash
Segelas Susu Jahe.
Clodyth.
Cerpen
Hipokondriasis
E. N. Mahera
Flash
Bronze
Isi Lemari
verlit ivana
Cerpen
Bronze
MALAM BAGI SENJA
Rian Widagdo
Novel
Ditolak lagi?
Ayu Puspa Kartika Cahya Ningrum
Cerpen
Bronze
Sang Penyihir dan Petualangan di Negeri Air
Mochammad Ikhsan Maulana
Novel
Sementara Saja
Edgina
Flash
Ikhlas Itu Pilihan
Ranizh Putri
Novel
Gold
KKPK Hari-Hari Akari
Mizan Publishing
Skrip Film
SISA KEMARIN
Risnat
Flash
Bronze
Siapa yang Mandul?
Sulistiyo Suparno
Rekomendasi
Flash
Perempuan yang Bicara dengan Nisan
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Rasa Didua
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bukan Malam Jahanam
Anjrah Lelono Broto
Flash
PERJAMUAN PENAGIH HUTANG
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Maafkan Saya, Yu Nah
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Perihal Kematian
Anjrah Lelono Broto
Flash
Di Tepi Kawah Saweri
Anjrah Lelono Broto
Flash
Kisah-Kisah Di Tanah Suci
Anjrah Lelono Broto
Flash
Amore Pazzo
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Keputusan
Anjrah Lelono Broto