Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setiap pagi, Rian berdiri di depan toko sepatu itu, menatap sepasang sepatu merah muda di balik kaca etalase. Sepatu itu begitu cantik, dengan pita kecil di bagian atasnya, dan ia tahu Maya, adiknya yang baru berusia 7 tahun, pasti menyukainya.
Namun, Rian sadar, keluarganya tak punya uang untuk itu. Ayahnya bekerja keras sebagai buruh bangunan, sementara ibunya terbaring sakit di rumah. Tapi Rian bertekad.
Ia mulai bangun pukul empat pagi, membantu Pak Jono di pasar untuk membersihkan kios. Tangan kecilnya sering tergores oleh pecahan kayu, tapi ia tidak peduli. "Hanya tiga bulan," pikirnya, sambil menggenggam bayaran kecil itu erat-erat.
Satu hari, saat pulang dari pasar, sebuah truk melaju kencang dan nyaris menabraknya. Uang receh yang ia kumpulkan dalam kantong plastik jatuh berceceran ke jalan. Dengan panik, ia memunguti setiap koin, sementara sopir truk membunyikan klakson keras.
Ketika akhirnya semua uang terkumpul, ada satu koin yang hilang—uang terakhir untuk menyelesaikan targetnya. Ia hampir menyerah, sampai seorang ibu tua di pasar memberinya koin itu sambil berkata, "Nak, mimpi baikmu jangan sampai berhenti hanya karena koin kecil ini."
Hari itu, Rian masuk ke toko dengan gemetar. “Pak, saya mau beli sepatu itu,” katanya sambil menyodorkan uang receh.
Penjualnya memandang Rian, lalu ke sepatu yang dimaksud, dan kembali ke tumpukan uang. “Nak, ini uang receh semua,” katanya, hampir terkejut.
“Ini hasil kerja saya, Pak,” jawab Rian lirih.
Penjual itu terdiam, lalu tersenyum. “Sepatunya jadi milikmu,” katanya sambil menyerahkan kotak itu.
Rian pulang dengan langkah ringan. Ketika ia menyerahkan sepatu itu kepada Maya, mata adiknya membesar. “Ini... ini untukku, Kak?”
Rian mengangguk. Maya memeluk sepatu itu erat, lalu menangis. “Aku pikir kita nggak bisa beli apa-apa lagi sejak ibu sakit... Tapi Kakak selalu bikin aku merasa jadi anak paling bahagia.”
Rian tersenyum, menahan air matanya. “Kakak cuma ingin lihat kamu bahagia, Maya.”
Sepatu itu dipakai Maya setiap hari, bahkan ketika ukurannya mulai sempit. Bagi mereka, itu bukan sekadar sepatu, melainkan lambang cinta, perjuangan, dan harapan