Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sigit, bos besar di sebuah perusahaan otomotif ternama, duduk termenung di ruang kantornya. Pikirannya penuh dengan masalah keuangan yang membelit perusahaan. Dalam beberapa bulan terakhir, penurunan permintaan pasar membuatnya terpaksa memikirkan langkah drastis. Keputusan itu datang dengan berat hati: perampingan. Sebagian besar karyawan terpaksa dirumahkan tanpa pesangon, termasuk mereka yang telah bertahun-tahun bekerja setia. Sigit tahu ini adalah pilihan sulit, tapi tak ada lagi jalan lain.
Di luar kantor, para karyawan yang dirumahkan berkumpul dan memprotes keputusan tersebut. Mereka menuntut hak mereka. Di tengah kerumunan itu, seorang pria bernama Evan berdiri dengan tekad bulat. Dia sudah lama mengamati dunia otomotif dan merasa bahwa dirinya punya kemampuan yang bisa membawa perubahan. Dia percaya dirinya paham betul soal mesin dan berharap bisa bergabung dengan perusahaan itu.
Evan pun memberanikan diri melamar pekerjaan. Di sebuah ruang HRD yang rapi, Evan duduk dengan cemas di kursi yang terbuat dari kulit hitam. Di depannya, seorang pria paruh baya, mengenakan setelan jas formal, sedang memeriksa berkas lamaran yang dibawa Evan.
"Evan, kan?" tanya pria itu, menatap surat lamaran di tangannya. "Kamu lulusan mana?"
"Ya, saya dari Universitas Teknik Surabaya, jurusan Teknik Mesin," jawab Evan dengan percaya diri. "Saya lulusan terbaik di angkatan saya, Pak. Saya benar-benar memahami mesin dan perawatan kendaraan. Saya percaya bisa memberikan kontribusi besar di perusahaan ini."
Pria itu menatap Evan dengan tatapan dingin dan tak terkesan. Dia meletakkan berkas lamaran Evan ke meja, lalu melipat tangannya. "Kami tidak sedang membuka lowongan untuk posisi yang sesuai dengan keahlian Anda."
"Tapi Pak, saya benar-benar paham soal mesin! Di kampus, saya menjadi asisten dosen di laboratorium mesin. Saya juga sering mengerjakan proyek-proyek otomotif secara mandiri. Saya yakin saya bisa membantu perusahaan ini untuk berkembang."
Pria itu menghela napas, lalu berdiri dan membuka pintu kantor, menandakan akhir dari percakapan ini. "Perusahaan sedang dalam krisis, kami tidak bisa menerima karyawan baru sekarang. Silakan pergi."
Evan merasa hancur. Dengan perasaan kecewa yang mendalam, ia berbalik dan melangkah keluar dari kantor.
Sementara itu Sigit sedang berusaha menghindar dari para karyawan yang demo menolak kebijakan perusahaan. Dia masuk ke mobilnya, tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Mobilnya mogok. Mesin mobilnya tak bisa menyala. Sigit mulai panik, mencoba berbagai cara untuk menyalakan mesin, namun hasilnya nihil.
Di tengah kesulitan itu, Evan kebetulan lewat. Dia melihat Sigit yang tampak frustasi dan bingung dengan mobil mogoknya. Tanpa ragu, Evan mendekati Sigit dan menawarkan bantuan. "Biar saya coba," katanya dengan percaya diri.
Sigit ragu, tapi akhirnya membiarkan Evan mengutak-atik mesin mobil. Dalam waktu singkat, Evan berhasil menyalakan mesin. Mobil itu kembali hidup dengan lancar.
"Hebat," kata Sigit terkesan. “Kamu siapa? Saya baru lihat.”
“Saya Evan,” jawab Evan tanpa tahu kalau Sigit adalah yang punya perusahaan. “Saya baru saja ditolak dari melamar kerja di sini.”
Sigit mengulurkan tangan mengajak salaman. Evan dengan bingung menjabat tangan Sigit. "Saya yang punya perusahaan ini. Kamu diterima kerja di sini. Besok kamu mulai kerja!"
Esoknya Evan datang dengan penuh harapan. Tapi ia malah disambut oleh satpam yang mengusirnya. "Tidak ada lowongan kerja! Pergi sekarang!"
Evan kecewa. Dia merasa dilecehkan. Dendam mulai tumbuh dalam hatinya.
Beberapa waktu kemudian, Sigit sedang dalam perjalanan bisnis, melintasi jalan sepi, ketika mobilnya kembali mogok. Tiba-tiba, muncul sosok Evan yang sedang berjalan. Melihat mobil mogok, ia segera mendekat dan menawarkan bantuan lagi. Sigit bahkan sudah lupa padanya!
Evan dengan sigap membuka kap mobil dan memeriksa mesin. Sekali lagi, dalam waktu singkat, ia berhasil menyalakan mesin. Sigit mengucapkan terima kasih. Namun tiba-tiba Evan membuat gerakan cepat dan menusuk perut Sigit dengan keras. Darah membuncah. Evan lalu menarik Sigit hingga terjatuh ke jalan. Evan masuk ke dalam mobil, mengunci pintu, dan mengemudikan mobil Sigit dengan senyum puas. "Aku menang," bisiknya.
Di jalan yang gelap, para pendemo yang sebelumnya memprotes kebijakan perusahaan melihat mobil mewah itu melintas. Mereka melihat sosok di dalamnya yang mereka kira adalah Sigit. Tanpa berpikir panjang, mereka mengejar dan memblokir mobil. Mereka mengira mobil itu milik sang bos yang telah menyingkirkan mereka.
Mereka mencegat mobil itu dan mulai beraksi. Mereka menggedor-gedor kaca, menarik-narik pintu, dan akhirnya merusak mobil hingga pecah dan ringsek. Mereka lalu membakarnya! Dendam Evan telah terbayar, namun harga yang harus dibayar terlalu mahal.