Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di pinggir jalan menuju bandara Raja Haji Fisabilillah ada warung kecil yang bersebelahan dengan kedai kopi dan toko baju -baju bekas, dan di samping toko itu ada jalan berbatu menuju perumahan yang tidak begitu ramai penduduk. Aku sering mampir di warung ini setelah Nur pindah kontrakan. Tempatnya tenang dan teduh. Pemiliknya adalah sepasang lansia berwajah ramah. Setelah menyiapkan pesananku, mereka biasanya membiarkan aku duduk sendiri. Aku senang berada di sini. Meskipun pintunya kecil, sekitar dua depa, aku merasa itu cukup luas untuk mengamati lalu lalang kendaraan.
Sejak hari itu, meskipun harus mengambil jalan memutar, setiap kali pulang kerja aku selalu mampir di warung ini barang sebentar -- biasanya dari pukul setengah lima sampai setengah enam. Semakin sering aku datang ke sini, aku merasa semakin dekat dengan kedua lansia itu. Sikap mereka juga menunjukkan kalau mereka merasa akrab denganku, bukan sebagai pelanggan, tetapi sebagai tamu.
"Baru pulang kerja?" tanya si kakek, ketika aku mampir lagi. Biasanya dia hanya bertanya "mau minum apa".
"Ya, Kek," kataku. "Hari ini lumayan panas. Aku pesan teh es saja."
"Manis atau sedang?"
Ketika tadi aku masuk ke warung ini, aku tak melihat siapa-siapa kecuali kedua lansia itu. Mereka sedang duduk di meja kasir sambil menekuri gawai. Melihat aku datang, si kakek berdiri. Gerakannya yang tiba-tiba terkesan seperti sambutan kecil, dan aku menyukainya.
"Yang sedang saja, Kek."
Aku meletakkan tas dan gawai dan kunci sepeda motor. Setelah itu, seperti hari-hari lain, aku menyalakan rokok sambil memandang ke jalan. Si nenek meletakkan asbak di depanku.
"Kau bekerja di mana, Nak?" tanya si kakek, ketika menyuguhkan pesananku.
"Di Batu 3, Kek," kataku.
"Dan rumahmu?"
"Aku tinggal di Batu 4, Kek."
Orang tua itu agak bingung tapi aku tak merasa harus mejelaskan mengapa aku memilih duduk di sini sementara ada banyak warung di luar sana.
"Pasti ada sesuatu yang membawamu kemari."
"Tidak juga," kataku. "Aku hanya menunggu seseorang lewat, Kek," kataku.
"Hanya lewat saja?"
Aku mengangguk.
Aku sendiri tidak tahu Nur tinggal di mana setelah pindah kontrakan. Sebelumnya dia tinggal di Jl. Merdeka, tak jauh dari tikungan lampu merah. Setiap kali melewati jalan itu, aku selalu menoleh ke pagar teralis rumahnya, memastikan apakah sepeda motornya ada atau tidak. Kalau aku melihat benda itu terparkir di depan pagar, entah mengapa, aku sudah merasa senang. Maksudku, setidaknya aku tahu dia ada di rumah. Dan kalau aku sedang merindukannya, aku tahu tempat mana yang harus kutuju.
Tetapi sebulan yang lalu dia pindah kontrakan dan baru mengabariku -- melalui messanger -- dua hari kemudian; dalam pesan itu dia bilang kalau kontrakannya yang sekarang tak jauh dari bandara. Karena akan terlihat tolol kalau aku berhenti di pinggir jalan, maka di sinilah aku, di warung ini, menunggu sampai dia lewat. Sebenarnya aku bisa saja menanyakan alamatnya, tentu, tetapi, aku tak mungkin melakukannya. Aku sendiri tidak tahu kenapa.
"Kuharap kau melihat gadis itu lewat, Nak," kata si kakek.
"Terima kasih, Kek," kataku.
Namun, setiap kali aku duduk di warung ini, aku tak pernah melihat Nur melintas dengan sepeda motornya. Dia memang tinggal di sekitar bandara, ada banyak simpang dan perumahan di sekitar sini, tetapi aku tidak tahu di mana persisnya.
Menjelang pukul enam, aku pulang. Badan dan pikiranku lelah sekali. Aku harap besok aku melihatnya lewat.*