Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namanya Kakek Husni. Dia tinggal bersama anak perempuannya, Kusuma Ayu Trisna, atau biasa dipanggil Kusuma. Tak lupa ada suami Kusuma, Abdul Muharrom yang biasa dipanggil Abdul. Ditemani dua cucunya, Irfan dan Cika, kehidupan Kakek Husni selalu menyenangkan. Sesekali, Kusuma membiarkan ayahnya itu bermain-main dengan Irfan dan Cika.
Suatu pagi, di ruang tamu, Kakek Husni sedang duduk di kursi goyang, membaca selembar koran. Kusuma duduk di atas karpet, sedang menonton televisi. Irfan dan Cika bermain bersama, sambil sesekali melirik ke arah televisi.
“Kek, ulang tahun Kakek kapan, sih?” tanya Irfan, si sulung yang berusia 7 tahun.
“Oh, ulang tahun Kakek tanggal 5 September nanti, sekitar dua bulan lagi,” jawab Kakek Husni.
“Umur Kakek jadi… 73 tahun, ya?” tanya Irfan lagi.
Kakek Husni mengangguk mantap.
“Kalau begitu, apa hadiah yang Kakek inginkan saat ulang tahun nanti? Hadiah yang sederhana, murah, tetapi sangat diinginkan oleh Kakek,” ucap Cika, adik Irfan yang usianya 4 tahun.
Kakek Husni melepas kacamatanya, lalu tertawa kecil.
“Tidak, cucuku, Kakek tidak ingin hadiah apa-apa. Kakek cuma butuh cinta dan kasih sayang dari kalian semua,” jawabnya sambil memilin-milin janggutnya.
“Jangan begitu, Papa. Anak-anakku ini mungkin saja ingin memberikan sesuatu pada Papa. Untuk itu, mereka perlu tahu apa barang yang sangat diidamkan Papa,” kata Kusuma dengan lembut.
Kakek Husni berpikir sejenak.
“Hmm… baiklah kalau begitu! Kakek sebenarnya tidak terlalu berharap, tetapi Kakek akan senang kalau kalian mau memberikan hadiah kepada Kakek. Sebetulnya Kakek hanya menginginkan… secangkir kopi!”
“Secangkir kopi?” ulang Irfan dan Cika agak terkejut.
“Betul. Kakek ingin sekali minum kopi. Dulu saat SMP, teman Kakek pernah memberikan sebungkus kopi. Segera saja Kakek memasaknya dibantu dengan orangtua. Saat dicicipi, rasanya agak sedikit pahit, walau sudah ditambah gula. Kakek jadi suka pada kopi, terutama pada aromanya. Namun, menginjak usia lansia, Kakek tidak bisa minum kopi, karena istri Kakek yang sekarang sudah tiada meminta Kakek agar menghentikan kebiasaan minum kopi. Sampai sekarang, Kakek ingin sekali minum kopi.”
Irfan mengangguk-angguk kecil.
“Kek, kami akan berusaha mencarikan kopi yang diinginkan Kakek. Tunggu saja, nanti pasti kami dapatkan!” ucap Cika sambil tersenyum.
“Hahaha, baiklah, Cika. Kakek akan menunggu, walau tak banyak berharap. Ulang tahun Kakek, kan, masih dua bulan lagi. Masih cukup lama!” ujar Kakek Husni sembari mengelus rambut Cika.
Kusuma tersenyum simpul. Dia kembali mengalihkan pandangan pada televisi.
***
Sebulan sebelum ulang tahun Kakek, Irfan dan adiknya sudah menemukan kopi yang diinginkan Kakek Husni. Mereka belajar membuat kopi bersama Kusuma secara diam-diam. Tanpa sadar, Irfan dan Cika sudah mahir membuat kopi, walau masih agak susah memanaskan air di kompor.
Namun, ternyata tiba-tiba Kakek Husni terserang penyakit jantung. Bersama istri dan anak-anaknya, Abdul mengantar Kakek ke rumah sakit. Dokter berusaha mengoperasi Kakek, namun…
“Permisi, Pak Abdul. Saya tidak bisa mengoperasi Pak Husni lebih lanjut. Saya mohon maaf sebesar-besarnya karena saya tak dapat menyembuhkan penyakit itu,” ucap dokter seminggu setelah mengoperasinya.
“Pak Dokter, tolonglah sembuhkan ayah saya. Saya akan membayar berapa pun Dokter membutuhkannya!” kata Kusuma setengah meminta.
“Tidak bisa, Bu. Saya sudah melakukan sebisa saya, namun hasilnya nihil. Saya juga sangat menyesal hal ini terjadi pada diri Ibu sekeluarga.”
Dokter meninggalkan Abdul dan keluarganya. Dengan hati yang sedih, mereka masuk ke kamar inap Kakek Husni.
“Kek, bagaimana keadaannya? Masih sakitkah?” tanya Kusuma dengan prihatin.
“Ya. Tetapi jangan khawatir, Kusuma, Papa akan baik-baik saja. Jagalah suami dan anak-anakmu. Didiklah Irfan dan Cika agar menjadi anak yang sukses. Aku sudah tahu dari awal bahwa aku akan merepotkan kalian semua. Sebaiknya jangan pedulikan diriku. Bahagialah bersama Abdul dan putra-putrimu,” jawab Kakek sambil menggenggam erat tangan Kusuma.
“Kakek Husni, jangan mati. Besok, kan, hari ulang tahun Kakek. Kami sudah menyiapkan kopi kesukaan Kakek. Besok bisa diminum!” ujar Irfan sambil memeluk Kakek.
“Irfan, Cika… terima kasih karena sudah menyenangkan hati Kakek. Kakek bahagia sekali punya cucu yang lucu dan pintar seperti kalian. Maaf, ya, Kakek tak dapat bertahan lebih lama. Ambil saja kopi itu, dan simpanlah untuk ayah kalian. Kakek sudah punya kenangan indah tentang kopi itu. Ka… Kakek sebenarnya ingin bertahan lebih lama untuk mencicipi secangkir kopi yang terakhir, tetapi tidak bisa.”
Irfan memeluk sang kakek erat-erat. Cika juga mulai menangis. Abdul mulai meneteskan air matanya. Dia mendekap tangannya di dada, dan menggigiti bibirnya.
“Pa… Papa… jangan tinggalkan kami. Lihatlah betapa sedihnya Irfan dan Cika bila Papa meninggalkan kami,” kata Kusuma dengan suara lirih.
Kakek Husni tidak menjawab. Matanya tertutup. Sambil menahan tangis, Irfan mendekatkan jari telunjuknya ke hidung Kakek.
***
Dua minggu sesudah meninggalnya Kakek Husni, Kusuma dan keluarganya pergi ke makam Kakek.
“Papa, semoga Papa bisa tenang di sana. Maafkan kami kalau tidak bisa memuaskan Papa,” ujar Kusuma dengan berurai air mata.
“Irfan sama Cika juga minta maaf kalau ada salah sama Kakek Husni. Kakek mau memaafkan, kan?” tanya Irfan.
Setelah itu, Irfan, Cika, Kusuma, dan Abdul meninggalkan makam Kakek.