Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tak tahu kenapa Hendry diam sejak tadi. Ia hanya menunduk di tempat duduknya di jajaran paling belakang. Muka Hendry tampak pucat dan berkeringat. Napasnya tersenggal-senggal seperti baru saja berlari, padahal hanya diam sejak tadi.
Aku beranikan diri memeriksa suhu keningnya. Terasa panas sebagaimana suhu tubuh ketika sakit. Sentuhan tanganku pada keningnya tak juga membuat Hendry bergeming. Ia seperti sedang tidur tapi dengan mata terbuka.
Aku melihat teman-temanku yang lain. Ada sekitat lima orang yang mengalami hal serupa. Mereka tampak pucat dan mendadak jadi pendiam. Teman-temanku yang sehat menyadari pula keanehan pagi ini.
Setengah jam berlalu, Pak Yuspa belum juga tiba. Seharusnya ia mengajar di jam pertama. Lalu suara langkah kaki terdengar dari luar kelas. Lalu suara teriakan dari kelas sebelah. Lalu tiba-tiba Hendry berdiri dan menerkam Fathan di sisi kiri. Aku langsung berdiri dan memisahkan mereka. Hendry malah menatapku dengan mulut terbuka sambil mengerang. Ia mencoba menggigit wajahku tapi aku mendorongnya. Aku berlari ke luar kelas. Pak Yuspa sudah berbaring di teras kelas bersimbah darah. Badannya bergerak-gerak. Anak-anak kelas sebelah berlarian keluar karena kejaran teman mereka sendiri.
Pak Yuspa tiba-tiba berdiri dan mengerang seperti Hendry tadi. Ia menatap ke arahku. Aku tahu ini saatnya berlari.