Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Singgasana Surga begitu heboh. Semua penghuninya melihat ke arah wanita muda yang kecantikannya mengalahkan bidadari-bidadari lainnya. Kulitnya selembut sutra, senyumnya semanis madu, dan wajahnya bercahaya bagai rembulan di musim salju : meneduhkan. Cantik, tetapi dia adalah pembohong. Malaikat bertanya, "Bagaimana bisa dia masuk surga?"
Aku pun menjawab,"Dia adalah Bunda. single parents yang membesarkanku."
Kebohongan pertama
Saat PSBB keluargaku kelaparan. Yang tersisa hanyalah sebungkus mie instan . Bunda memasaknya lalu menyajikannya ke sebuah piring. Setengah untukku, dan setengah lagi untuk adikku.
"Ayo di makan nak,"pinta Bunda.
"Bunda gak lapar?"
"Tidak. Bunda masih kenyang."
Lisannya berdusta, tapi suara cacing dalam perutnya selalu jujur.
Kebohongan kedua
Aku menangis tersedu-sedu, bersembunyi di kamar sempitku. Di sekolah, anak sekelas memanggilku dungu. Bunda datang menghampiriku, memelukku, lalu menyandarkanku pada pundaknya yang kokoh.
"Kamu itu tidak bodoh!" tegas Bunda. "Mereka hanya belum tahu kehebatanmu."
"Lihatlah nak, betapa hebatnya karyamu, " puji ibunda. Dia mengambil secarik kertas berisi gambar wajah bundaku yang lebih mirip wewe gombel. Dibelakangnya ada rumah, dan gunung nan hijau yang bentuknya lebih mirip belahan pantat Kolor Ijo.
Aku tertawa melihatnya.
"Suatu saat kamu bakal jadi seniman yang hebat dan lebih sukses dari semua teman sekelasmu yang memanggilmu dungu."
Kebohongan ketiga
Kini aku telah tumbuh dewasa. Berkat kebohongannya, aku kuliah di salah satu fakultas seni di Bandung. Aku sudah lulus, tapi iuranku nunggak tiga bulan. Ijazahku ditahan. Aku bercerita pada Bunda lewat telephone.
"Tenang saja nak , jangan pikirkan soal bayaran. Besok Bunda lunasi semuanya, " Bunda menenangkanku.
"Darimana uangnya?"
"Lukisanmu laku keras, Bunda punya banyak uang."
Besoknya Bunda transfer uang, ijazahku bisa di tebus, dan aku pun lulus dengan nilai terbaik.
Betapa terkejutnya ketika pulang ke kampung halaman : semua lukisanku tak terjual. Bunda menjual cincin kawinnya demi menebus ijazahku. Aku langsung bersujud dan membasuh kakinya.
Kebohongan ke empat
Aku telah menikah dengan jodohku : Sholeha. Gadis manis pilihan ibunda yang sedang mengandung 9 bulan. Karena urusan pekerjaan aku terpaksa meninggalkan Bunda. Ia tinggal di kampung, dan aku tinggal di Paris menjadi pelukis terkenal. Tujuh tahun kita tak berjumpa. Disini aku merindukan peluknya. Aku menelponnya lalu bicara, "Bunda, aku rindu. Besok aku bakal ke sana."
"Jangan," katanya."Kamu rawat saja istrimu. Kasihan.Sebentar lagi dia bakal melahirkan."
"Bunda gak kesepian?"
"Gak papa. Kamu fokus ajah sama keluargamu,"Bunda memohon.
Bunda berdusta. Di sana ia sendirian ; Adikku kuliah di London. Di kampung ia menua dalam sepi.
Kebohongan terakhir
Bunda sudah tua.Rambutnya mulai memutih, kulitnya mengkerut, punggungnya membungkuk. Ia mulai sakit-sakitan. Setiap kali aku menelponnya ia berdusta, "Disini Bunda sehat kok. Bunda kan kuat kayak Wonder Women."
Besoknya kudengar kabar bahwa Bunda di rawat di rumah sakit. Aku, Soleha dan anakku pergi menjenguknya. Saat kita bertemu ia masih saja berdusta. "Tenang saja Bunda bakalan sembuh," ia tersenyum manis padaku.
Dia pun meninggal. Itu senyuman terakhirnya.Ketika kembali ke kampung halaman untuk pemakaman, aku terkejut melihat rumahnya yang sudah reyot. Bagaimana bisa, bukankah aku selalu mengirimnya uang?
Ternyata ini toh penyebabnya: setiap dikirim uang olehku, ia selalu menyumbangkan 99℅ uangnya ke panti jompo : tempat dimana nenek-nenek kesepian diterlantarkan anaknya.