Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Aksi
Tetangga Toko Sebelah
2
Suka
1,727
Dibaca

Pertama kali dengar obrolan pekerja toko sebelah, aku kaget.

“Eh, banci, belom pulang lo.”

“Iya, Cong, nunggu jemputan.”

“Da... bencong.”

“Da... banci,” mereka kemudian berpisah sambil saling melambai begitu becak langganan datang menjemput.

Aku yang berdiri tak jauh dari mereka tak bisa menahan tawa, sebelum akhirnya disemprot mereka dengan nada bariton yang persis sama.

“Diam!!”

“Kompak, nih, ye,” balasku. Bertiga, kami akhirnya terbahak.

Tapi mereka memang tetangga di tempat kerja.

Kantorku tepat di samping toko mereka, tak jauh dari bank swasta terbesar di Ibu Kota. Sebenarnya, pemilik kantor media tempatku bekerja adalah juga pemilik salon kecantikan yang dikelola istri tercintanya. Mereka berdua para pekerjanya.

“Kenapa bos buat tabloid?” tanyaku suatu hari.

“Ya, karena orang-orang bisa buat, pastinya aku juga bisa.” Sesederhana itulah keinginannya.

Sayang, kantornya cuma bisa bertahan satu tahun. Gara-gara kebanyakan "pengawas".

Setiap malam, “editor dan redaktur” pengawas berita "asing" datang bergantian. Jika bukan dari Kodam, maka dari pasukan yang dijuluki “pemberontak” yang datang.

Pertanyaannya sederhana, berapa porsinya?

Porsi yang dimaksud bukan makanan, karena kantor kami kantor berita. Jadi pastilah porsi berita yang akan dimuat pagi itu.

Jawabanku sekenanya, sesuai dengan hasil rapat: 60:40.

“Siapa 60?” tanyanya lagi sambil memperlihatkan AK-47 yang terselip di balik jaket hitamnya.

“Kalian,” jawabanku. Jawaban itu cukup untuk bisa menurunkan kakinya dari sisi kursiku dan menurunkan nada bicaranya.

“Baiklah,” katanya mengangguk dan ngeloyor pergi dari ruang redaksi. Siapa pun bisa kena tanya jika sedang berada di tempat dan waktu yang sama dengan kedatangannya. Tapi kami semua tak peduli asal bisa memberi jawaban dan alasannya.

Pernah sekali aku sebut 80:20. Aku bilang mereka 80 karena serangan kalian kemarin membuat mereka babak belur. Ia sama sekali tak marah, malah menepuk-nepuk pundakku dan menyelipkan uang seratus ribuan.

“Nih, bonus,” katanya.

Tumben. Aku tempelkan uang kertas merah itu di jidat. Sering-sering ya, Om, batinku.

Paginya aku bagi bonusnya, mampir ke penjual bubur di depan kantor memesan tiga porsi spesial. Aku letakkan di meja belakang salon dekat pintu penghubung tempat pekerja rehat atau bersantai.

“Buat kalian berdua,” tulisku di kertas pesan.

Waktu aku sedang menikmati bubur di depan komputer, tiba-tiba muncul dua makhluk yang kemarin bertengkar di depan toko nunggu jemputan.

Mereka bergantian hendak memijit punggung, seperti biasa dilakukan ke pelanggan salon sehabis creambath. Aku berterima kasih dan menolaknya. Terus terang, aku tidak tahan geli kalau dipijat.

“Eh, ganteng, trims ya buburnya. Kok tau kami lagi bokek,” ujar Mira yang malamnya berubah jadi Martin, dan Rieska yang berubah jadi Rio.

“Jangan fitnah,” ujarku sambil pura-pura marah.

“Apaan sih, kok fitnah?”

“Bilang orang jelek jadi ganteng gara-gara dikasih bubur, itu fitnah,” lanjutku.

“Tapi bener, kok, Abang ganteng.” Kali ini mereka barengan lagi ngomongnya dengan nada yang juga sama intonasinya.

“Baiklah, aku juga tau,” jawabku iseng. Tiba-tiba muka mereka manyun tak terima.

Minggu pagi aku ke mal, bareng keponakan dan sepupu. Janji bawa jalan-jalan ke Funland. Turun dari mobil di parkiran, membuka pintu, menurunkan bocah-bocah itu. Tiba-tiba muncul dua orang menarik tanganku kanan dan kiri.

“Eh, ganteng-ganteng bingit anaknya?” kata mereka berdua.

“Ponakan, bukan anak.”

“Tapi bener ganteng, kok. Siapa dulu omnya,” pujinya lagi.

“Maaf, aku nggak ada uang kecil,” ujarku bercanda.

“Nggak apa-apa, kami suka yang besar, kok,” ujarnya sambil tergelak tawa.

Orang-orang di mal matanya langsung jelalatan. Ih, ternyata mereka temenan. Mungkin aku disangka bagian dari mereka.

Mereka bayangkan aku juga akan jalan lemah gemulai seperti mereka. Apalagi aku memakai denim sedikit ngepas, begitu juga dengan kaus ukuran M padahal biasanya large. Aku berbasa-basi sebelum akhirnya “kabur” dari hadapan mereka.

Terus terang, aku sebenarnya takut dengan mereka. Siapa tahu, nih ya, salah satu dari mereka suka sama aku. Terus aku punya pacar atau ada cewek naksir.

Aku pernah dengar cerita horor soal persaingan di kalangan mereka kalau rebutan pacar atau merasa cemburu. Mereka tak cuma main jambak rambut, tapi bisa juga memakai kekerasan. Memang tidak semua begitu, artinya berita itu kasuistis.

Sesekali aku dengar dari tempatku mengedit berita, dari pintu penghubung kantor media dan salon, suara Mira alias Martin dan Rieska alias Rio berubah jadi suara bariton laki-laki.

Tapi jujur, melihat mereka aku sama sekali tak merasa aneh, tapi justru kasihan. Mungkin secara hormonal, atau psikologis, atau latar belakang hidupnya, ada sesuatu yang membuat mereka berkamuflase seperti bunglon, harus menjadi laki-laki atau harus menjadi perempuan.

Kadang aku memikirkan bagaimana mereka mengatasi orang-orang yang memberinya stigma atau stereotip buruk. Apakah mereka nyaman dengan kondisinya? Bagaimana mereka sebenarnya? Kenapa harus melakukan itu?

Ketika mereka tiba-tiba menjadi “normal,” aku menemukan kepribadian yang lain, apalagi kalau mereka sampai curhat serius layaknya sedang menghadap psikolog, karena aku suka berbagi saran.

Aku suka caranya mereka bercanda yang spontan. Aku bilang sama mereka, “Nanti jangan ganggu pacarku ya kalau aku sudah punya, jangan sampai kalian cemburu.”

Mereka malah terbahak, bukan sebagai Rieska dan Mira, tapi sebagai Martin dan Rio.

“Tapi kami kan cowok juga,” kata mereka lagi-lagi bersamaan. “Boleh dong suka pacar Abang.”

Aku melotot ke arah mereka. “No way!” ujarku. Kemudian kami tertawa terbahak bersama.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Aksi
Flash
Tetangga Toko Sebelah
Hans Wysiwyg
Flash
Bronze
Glitch
DMRamdhan
Flash
Bronze
Desa Istri
Silvarani
Skrip Film
CHERISH & RUELLE
Reiga Sanskara
Cerpen
Mission: Accomplished
Fidiya Sharadeba
Cerpen
Bronze
KOMISARIS TAMBANG, PULANG PETANG
Ayub Wahyudin
Novel
The miracle in Anfield
Raphael Juan Arga Butarbutar
Flash
SEBUTIR HARAPAN
Nimau Kum
Flash
Bronze
Superhero Baru
Bungaran gabriel
Novel
Seven seas adventure.
Ahmad hafsh
Cerpen
Bronze
Melawan Api
Mochammad Ikhsan Maulana
Novel
MISI RAHASIA PENJUAL ES CINCAU
Bung Rey Reborn
Cerpen
Bronze
Sunyi Dibalik Jubah Hukum
Muhammad Ari Pratomo
Flash
Bronze
Wanita Pilu🧕🏻
Mazvirah Sari
Cerpen
Bronze
Lelaki dari Teluk Kelayan
Agus Puguh Santosa
Rekomendasi
Flash
Tetangga Toko Sebelah
Hans Wysiwyg
Cerpen
Jalan Tikus
Hans Wysiwyg
Flash
ORANG DALAM
Hans Wysiwyg
Flash
ONLY-- Sometime Truth is Cruel
Hans Wysiwyg
Flash
MAKLAR
Hans Wysiwyg
Cerpen
Susah Lupa
Hans Wysiwyg
Flash
Kesempatan Kedua
Hans Wysiwyg
Flash
Laut Itu Luka
Hans Wysiwyg
Flash
Suami Terba(l)ik
Hans Wysiwyg
Flash
Jejak Luka, Titik Cinta
Hans Wysiwyg
Cerpen
BADRI BERHANTU Pabrik Padi Syereem!
Hans Wysiwyg
Flash
SAM DAN MESIN UANGNYA
Hans Wysiwyg
Flash
RUMAH SUNYI TANPA AKU
Hans Wysiwyg
Flash
PAMIT
Hans Wysiwyg
Flash
Mimpi Teduh
Hans Wysiwyg