Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Baru saja Keyra berdiri di depan halte yang tak jauh dari gang rumahnya, sebuah mobil berwarna silver berhenti di depannya. Sang pengemudi membuka kaca penumpang yang berada di sebelah kiri.
“Key, masuk.” Titahnya. Keyra pun segera masuk ke dalam mobil, duduk di kursi samping pengemudi.
“Lama ya?” tanya Rizal, si pengemudi yang berada di samping Keyra.
“Enggak. Belom ada sepuluh menit juga kayanya.”
“Baguslah. Tadi agak lama soalnya mampir beli minum dulu. Itu buat kamu.” Ucap Rizal sambil sekilas melirik minuman yang berada di sebelah kirinya. Keyra menoleh, mendapati segelas minuman favoritnya.
“Frappucino mocha dengan toping whipe cream. Kesukaan nona Keyra.” Ucap Rizal disusul dengan segaris senyum saat Keyra mengambil minuman yang dimaksud.
Ada rasa hangat yang menjalar dalam hati Keyra. Tiba-tiba saja memorinya mengajak ia melihat kejadian empat tahun lalu, saat ia pertama kali bertemu dengan Rizal. Di café tempat mereka bertemu saat itu, yang Keyra pesan adalah frapucino mocha.
“Karena ini adalah minuman favorit aku setelah jus alpukat.” Jawab Keyra setelah Rizal bertanya mengapa harus pesan frappucino mocha.
Dan Keyra tidak mengira jika jawabannya itu masih tersimpan dalam ingatan Rizal.
“Lo, masih inget?” tanya Keyra ingin membunuh rasa penasarannya. Senyum Rizal semakin mengembang.
“Semua tentang lu, Key.” Jawaban singkat namun berhasil membuat Keyra tersipu.
“Kenapa bisa?”
“Enggak tau.” Jawab Rizal singkat dengan tatapannya yang masih fokus ke jalan.
Keyra terus menatap Rizal yang serius dengan kemudinya. Ia menikmati setiap inci wajah Rizal. Degup jantungnya berdegup seperti pertama kali mereka bertemu.
Pertemuan kedua ini terasa seperti pertemuan pertama bagi Keyra. Namun, Keyra tau, pertemuannya kali ini hanyalah pertemuan antara dua orang yang bersahabat. Ya. Sebut saja mereka bersahabat meskipun mereka pernah memiliki rasa cinta yang sama. Namun saja, keadaan tidak mengizinkan mereka untuk bersama.
“Makasih udah mau jemput,” ucap Keyra, mencoba mengalihkan fokusnya dari debar di dadanya yang semakin kuat.
Rizal melirik sekilas, senyumnya masih tak berubah. “Apaan sih, Key. Jemput lu tuh hal kecil dibanding apa yang udah kita lalui selama ini.”
Keyra terdiam. Kata-kata Rizal selalu memiliki cara untuk menyentuh sisi lembut dalam dirinya. Empat tahun tak mengubah apa pun, termasuk kenyamanan yang selalu ia rasakan setiap kali berada di dekat Rizal. Namun, rasa nyaman itu kini bercampur dengan kegamangan yang tak pernah ia akui.
“Zal,” panggil Keyra dengan suara pelan, hampir seperti gumaman.
“Hm?” Rizal menoleh sedikit, sekilas, sebelum kembali fokus ke jalan.
“Lo bahagia?” Pertanyaan itu meluncur tanpa Keyra sadari, tetapi ia terlalu ingin tahu jawabannya. Ia ingin memastikan bahwa Rizal benar-benar yakin dengan keputusannya.
Rizal tersenyum samar, senyum yang sulit Keyra artikan. “Gue sedang menuju ke sana, Key. Keputusan ini, udah lama juga gue ceritakan ke lo, kan?”
“Gue senang dengar itu,” balas Keyra dengan senyuman kecil yang ia paksa hadirkan di wajahnya. Namun hatinya memberontak, bertanya-tanya bagaimana kebahagiaan Rizal akan terlihat nanti—ketika ia bukan lagi bagian dari kehidupan pria itu, meski hanya dalam batasan sahabat.
Semenjak kepergian mendiang suaminya dua tahun lalu, Keyra ingin sekali meminta untuk mereka kembali merajut kisah cinta mereka yang dulu pernah sama-sama mereka akui. Namun Keyra terlalu takut untuk kehilangan Rizal jika harus diungkapkan kembali perasaan yang sebenarnya. Maka berjalan dengan keadaan seperti ini membuat Keyra merasa lebih aman dan nyaman.
Mobil melaju perlahan, mengambil jalan yang familiar bagi mereka. Keyra tahu ke mana mereka akan pergi: taman kecil yang sering mereka datangi dulu. Taman yang menyimpan banyak cerita tentang tawa, obrolan, dan kebersamaan yang mereka jaga seperti rahasia.
“Kita ke taman?” tanya Keyra, memastikan.
“Tempat favorit kita, kan?” Rizal menjawab ringan. Ada kehangatan dalam nada suaranya, meski Keyra juga bisa menangkap jejak perasaan yang sulit pria itu sembunyikan.
Saat mobil akhirnya berhenti, Keyra melangkah keluar lebih dulu. Udara sore terasa sejuk, angin membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Rizal mengikuti, membawa minuman miliknya. Mereka berjalan menuju bangku kayu yang terletak di bawah pohon besar, tempat favorit mereka untuk berbagi cerita.
“Masih inget waktu kita ke sini pertama kali?” Rizal memecah keheningan.
“Waktu itu kita nggak tahu kalau tempat ini bakal jadi semacam … ruang pelarian, ya,” jawab Keyra, menoleh ke arahnya.
Rizal tertawa kecil. “Iya, dan sampai sekarang, ternyata tempat ini tetap jadi satu-satunya tempat yang bikin gue tenang.”
“Zal,” panggil Keyra perlahan. “Kenapa ngajak gue ketemu hari ini?”
Rizal menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. “Lo sebenernya tau kenapa gue bawa lo ke sini.” Rizal terdiam sejenak. Membuang napasnya dengan masygul. “Gue harus pamit, Key.” Lanjutnya sambil menoleh kea rah Keyra yang berada di sisi kirinya.
Keyra merasakan hatinya mencelos. Kata-kata Rizal sederhana, tapi memiliki beban yang sulit diabaikan. “Pamit?” ulangnya pelan.
“Gue nggak tahu kapan kita bisa kayak gini lagi,” Rizal melanjutkan. “Dua minggu lagi, hidup gue akan benar-benar berubah. Dan gue nggak mau lo merasa gue pergi tanpa pamit.”
Keyra menunduk, merasakan dadanya sesak. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semuanya terasa seperti perangkap yang akan menahan langkah Rizal untuk bahagia.
“Terima kasih … karena selalu ada selama ini, karena lo udah sekuat ini menemani gue, menghadapi segala cerita perjalanan hidup gue,” Rizal melanjutkan. Suaranya serak, menahan perasaan yang hampir tumpah. “Lo adalah salah satu hal terbaik yang pernah gue punya, Key. Gue pernah bilang, kan. lu adalah paket kumplit dari apa yang gue cari, tapi keadaan gak memungkinkan buat kita hidup bersama, Key.”
Air mata mulai menitik di sudut mata Keyra, tapi ia buru-buru menyekanya sebelum Rizal sempat menyadari. Ia tersenyum, meski hatinya terasa hancur. “Lo juga salah satu bagian terbaik dari hidup gue, Zal. Gue gak pernah nyesel karena pernah jatuh cinta sama lo.”
Pernah? Rizal menahan senyum getirnya. Bahkan sampai saat ini gue tau lo masih cinta sama gue, Key. Mata mereka bertemu sejenak, penuh kejujuran yang tak pernah terucap. Rizal memberikan isyarat untuk Keyra memeluknya. Tanpa berpikir lagi, Keyra menyambut isyarat yang diberikan Rizal.
Taman itu menjadi saksi bisu akan sebuah cinta yang tak bisa dimiliki, atas sebuah kata pamit. Ketika matahari mulai tenggelam, mereka tahu pertemuan ini adalah salam perpisahan. Pelukan itu menjadi kenangan terakhir mereka.
Dunia mereka harus tetap berjalan, meski cinta mereka berhenti di sini.