Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Noam mengucek mata, sambil menatap layar komputer di depannya dengan pandangan yang mulai kabur. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi ia masih tenggelam dalam Dreamscape Quest, game RPG yang sedang digandrunginya. Tugas akhir yang menumpuk di meja hanya menjadi latar yang tak menarik di ruang sempit kosnya. Kanvas besar di sudut ruangan sudah lama tertutup debu, kuas-kuasnya kaku, dan tumpukan cat akrilik mulai mengering. Kreativitas yang pernah ia banggakan seperti menguap, meninggalkan dirinya terbius dunia virtual yang ternyata penuh adiksi.
"Cukup untuk malam ini," gumamnya, meski jarinya tetap sibuk menekan tombol keyboard, menepuk-nepuk gemas mouse di tangan kanannya. Namun, rasa kantuk yang tak tertahankan akhirnya mengambil alih. Dengan headset masih terpasang, ia tertidur di depan layar yang masih menyala.
Ketika membuka mata, Noam mendapati dirinya berada di tempat yang sama sekali berbeda. Dunia asing, yang rasanya seperti gelembung agar-agar, sekelilingnya seperti sureal—perpaduan galeri seni yang absurd dan arena game yang ia kenal. Di dinding tergantung lukisan kaleng sup Campbell, tetapi bukan sekadar lukisan. Kaleng-kaleng itu bergerak, berubah warna, dan hidup seperti piksel yang meleleh.
“Selamat datang, Noam,” suara merdu seorang wanita menggema dari sudut ruangan. Dari cahaya glitch(1), muncul sosok misterius dengan rambut perak ikonik dan kacamata hitam—Andy Warhol dalam wujud yang aneh.
“Apa ini?” tanya Noam, bingung. “Warhol??”
Warhol tersenyum samar. “Ini mimpi yang kamu ciptakan. Kamu terlalu lama bermain di dunia virtual, sampai lupa dengan tugasmu di dunia nyata. Jadi, aku datang untuk mengingatkanmu.”
Ia melambaikan tangan, dan dunia di sekeliling mereka berubah. Lukisan-lukisan pop art melayang, bercampur dengan elemen visual dari game Dreamscape Quest. Ada pilar-pilar dengan pola piksel, patung-patung berbentuk monster game, dan latar penuh warna neon yang berkedip seperti layar komputer rusak.
“Kamu, Noam, adalah kaleng sup tanpa label. Bagaimana kamu bisa menjadi pop art tanpa rasa?” Warhol melanjutkan, suaranya seperti mantra, berdengung dan bergemerisik seperti piringan hitam. Warhol memberi Noam kuas digital dan kanvas holografis(2). “Sekarang, waktunya menggali piksel dalam dirimu.”
Noam mengikuti Warhol menjalani tantangan-tantangan absurd. Mereka melukis dengan tetesan waktu, menangkap bayangan yang terus bergerak, dan mencetak gambar diri dari mesin slot yang terus berputar. Setiap kali Noam mencoba menggambar, hasilnya hidup sejenak, tetapi bentuk-bentuk itu selalu kabur dan pecah menjadi serpihan piksel.
“Kenapa semuanya selalu gagal?” Noam mulai frustrasi, sambil mengacak-acak rambutnya yang terasa seperti gumpalan puding.
Warhol menatapnya dengan dingin, ia menyeringai sinis. “Kamu melukis dengan rasa takut, bukan dengan keberanian. Dunia nyata dan dunia maya adalah kanvasmu. Mengapa kamu memilih diam di layar loading?”
Noam mengernyit, ia bingung. “Apa itu layar loading?” Ia mengerjap. “Aku sedang menunggu apa?”
Warhol tertawa keras, kacamatanya naik turun.
Puncaknya, Warhol menumpahkan kaleng sup ke kepala Noam. Cairan itu berubah menjadi warna-warni yang menciptakan hujan piksel, membawa Noam melayang di tengah galaksi penuh simbol-simbol seni pop dan elemen game. Noam merasa terhisap, seperti berada di antara dua dunia yang saling tarik-menarik. Warhol berkata, “Kamu yang harus memilih, Noam. Apakah kamu ini hanya pemain, atau kamu mau menjadi seorang kreator?”
Dengan suara lantang, Noam berteriak, “Aku hanya ingin bebas dari semua tekanan ini! Semua tugas-tugasku, sebagai manusia dewasa.”
Warhol tertawa, lalu perlahan menghilang dalam bias sinar piksel, yang luruh seperti layar meleleh.
Noam terbangun dengan napas tersengal. Layar komputernya menyala, menampilkan pesan kemenangan dari game yang tadi sedang dimainkan, sampai ia ketiduran: "You have unlocked: The Artist’s Soul."
Ia menoleh ke arah kanvasnya yang berdebu. Entah kenapa, ia merasa harus melakukan sesuatu. Dengan tangan gemetar, Noam mengambil kuas dan mulai melukis. Ia melukis kaleng sup Campbell, tetapi kali ini, ada wajah dirinya yang terpantul dari piksel-piksel digital di dalam kaleng itu. Refleksi absurd, antara dirinya yang nyata dan maya.
Karya itu selesai sebelum matahari terbit. Dalam nadanya yang surealis, kanvas itu berbicara lebih dari sekadar gambar—ia adalah potret absurditas manusia modern. Pergumulan gagasan maya dan nyata, semua seolah terangkum dalam gaya pop art Warhol, dengan sentuhan distorsi piksel era digital, dalam kotak-kotak warna-warni.
Di atas kanvas itu, Warhol masih tertawa dalam keabadian dunia piksel. Noam malah tertawa terbahak-bahak, melepaskan headset di kepalanya sambil geleng-geleng. Ia akhirnya memutuskan kembali menjadi seniman, menyelesaikan tugasnya di dunia nyata.
Ia memutuskan untuk menghentikan keindahan palsu dunia virtual, yang menelan hidup yang sebenarnya. Sesuatu mengetuk nuraninya: apakah aku tetap merasa utuh ketika layar dimatikan? Dunia virtual ini cuma alatku bertumbuh, bukan tempat untuk melarikan diri dari diriku yang sejati. Noam mengetukkan kanvasnya yang kini basah oleh cat akrilik.
Terima kasih, Warhol, gumamnya sambil terkekeh. Aku mau kembali ke dunia nyata.
(1) kesalahan atau kekurangan perangkat lunak yang tidak terduga dalam video game yang mengakibatkan perilaku yang tidak diinginkan atau anomali grafis, berkisar dari gangguan visual.
(2) teknologi yang menghasilkan gambar tiga dimensi (3D) dari objek atau gambar menggunakan cahaya yang dipantulkan atau dipancarkan