Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Aksi
Rumina dan Dunia yang Membisu
1
Suka
1,165
Dibaca

Sebuah notifikasi masuk. Padahal hari Minggu ini sebenarnya aku ingin menikmatinya di rumah, meskipun hari ini cerah.

Tapi Rumina terus-terusan mendesakku dengan dering telepon yang hampir setiap menit berbunyi. Akhirnya, aku menyerah.

"Baiklah, jam berapa kita harus ke sana?" tanyaku pasrah.

"Nah, gitu dong! Ini bakal jadi kejutan, lho," jawabnya dengan antusias dari ujung telepon.

"Aku yakin kamu bakal senang," lanjutnya, masih dengan nada gembira.

Jawabannya membuatku tak enak hati menolak, dan juga membuatku tambah penasaran. Kejutan apa?

Aku sudah memanaskan mobil beberapa menit lalu sambil menikmati sepotong sandwich isi cokelat favoritku.

"Aku OTW," tulisku di WhatsApp. Rumina hanya membalas dengan emotikon hati, tapi tak lama muncul pesan tambahan: "Love U ;)"

Pagi yang sejuk masih terasa dingin saat aku tiba di rumahnya yang berada di bantaran sungai, dikelilingi jajaran pohon cemara teduh dengan desau anginnya yang lembut, memancing kantuk.

Rumina berdiri di ambang gerbang rumahnya tersenyum manis dengan ransel putih—seingatku itu hadiah dariku saat ulang tahunnya yang ke-17. Dia masih menyimpannya. Aku teringat momen saat aku memberinya tas itu.

"Bang, aku ulang tahun," katanya ketika aku menjemputnya sepulang dari eskul Creative Writing waktu itu.

"Terus?"

"Orang ulang tahun kan biasanya dikasih kado!" jawabnya sambil menyipitkan mata.

"Terus?"

"Kalau orang ngomong, apalagi kekasihnya, jangan diterus-terusin! Nanti jatuh," katanya, memasang muka cemberut palsu sambil merapikan jilbabnya.

"Kenapa nggak dibilang gini—‘Oh, ultah ya, yuk kita cari kado.’ Kan enak," ujar Rumina waktu itu.

"Maunya."

"Iya, mau..." jawabnya spontan.

"Mau apa?"

"Kado!" ujarnya manja.

Akhirnya pergi berboncengan, aku bilang mau langsung mengantarnya pulang.

Tapi di pertigaan—aku sengaja berbelok ke arah toko kado favoritnya.

Rumina tahu, ia langsung berteriak tak peduli orang di jalanan melihatnya, "Horee! Akhirnya ada yang mau belikan kado."

Begitulah cerita tas putih itu.

Ini sudah tahun kedua Rumina bergabung di NGO yang kerja sama dengan komunitas untuk para anak difabel. Ia begitu antusias mengerjakan apa pun tugas di komunitas itu. Tentu saja aku sangat mensupportnya. Terutama karena aku sangat menyukai anak-anak.

Pagi ini aku bersedia jadi drivernya, dengan satu-satunya penumpang sekaligus yang jadi penunjuk jalannya.

"Masih jauh nggak nih? Kok dari tadi belak-belok nggak habis-habis. Jangan-jangan Google Maps-nya nyasar," tanyaku sambil mengerutkan dahi.

"Enak aja! Aku udah ke sini ratusan kali," jawabnya dengan nada manja.

"Baiklah, jadi ke mana, Non? Mau diantar," ujarku menirukan gaya driver ojol atau sopir pribadi yang ngantar majikan. Gadis itu malah tertawa. Aku dikatain cocok kalau jadi sopir pribadinya—ampun, deh!

"Nah, tuh rumah putih yang ada biru-birunya," ujar Rumina menunjuk dari dalam mobil ketika kami tiba di sana.

"Nggak ada biru-birunya," sanggahku, memandangi bangunan yang hampir sepenuhnya putih.

"Ada! Pokoknya ada," katanya bersikeras. Belakangan, aku baru sadar bahwa “biru-birunya” cuma les kecil di bagian depan, jadi dari jauh cuma nampak putihnya.

Sementara aku memarkirkan mobil, Rumina berlari ke dalam. Kami kebetulan menjadi orang pertama yang ada di lokasi pagi itu.

Aku turun, karena aku lihat beberapa anak perempuan sedang sibuk menyapu, membersihkan lingkungan bangunan itu.

"Hai!" sapaku dengan ceria. Anehnya, tak ada satu pun yang peduli. Bahkan menoleh pun tidak.

Apa ini kejutannya? batinku. Aku berjalan mendekat, mereka masih juga tak bergerak—berinisiatif untuk menyapa. Ini benar-benar aneh, batinku.

Belum sempat kebingunganku bertambah, seorang perempuan cantik muncul dari samping bangunan.

"Masuk! Teman Rumina, ya?" tegurnya ramah.

Aku mengangguk, sambil memandangi anak-anak yang kali ini bergantian memandangiku rame-rame, tapi sama sekali tak bersuara. Bedanya, kali ini mereka tersenyum.

"Maaf, mereka siswa sekolah di sini—mereka difabel tuna rungu," ujarnya seolah memberi jawaban atas kebingunganku yang bisa dilihatnya dari wajahku. Astaghfirullah, batinku.

"Nggak apa-apa, Mbak. Iya, saya maklum," ujarku sok ramah.

Tak lama, Rumina muncul dari dalam bangunan sekolah itu, yang langsung disambut dengan pelukan tanpa suara, dengan bahasa isyarat yang hanya mereka yang tahu. Sementara aku menjadi bahan tertawaan Rumina.

"Bagaimana? Kejutan, kan? Enak, kan, dicuekin?" katanya sambil tertawa lepas.

Seorang laki-laki muda tiba-tiba muncul. Kulitnya putih bersih, wajahnya lumayan ganteng—meskipun menurutku masih di bawahku dua level. Aku melirik Rumina.

"Jadi dia alasanmu senang datang ke sini?" tanyaku setengah sewot.

Rumina tersenyum manis dan menatapku dengan mata indahnya. "Aku suka kalau kamu cemburu. Ganteng banget, sumpah."

Memang paling bisa dia membuatku meleleh. Itu yang selalu membuatku rindu setengah mati. Dia tak hanya cantik, lembut, tapi juga humoris.

Sudah begitu, ia juga sangat mencintai anak-anak. Bahkan memandang seorang gadis kecil yang sedang dimarahi ibunya saja, air matanya langsung banjir. Tapi begitulah Rumina.

"Hans, kalau ada kesempatan bisa bergabung di sini, kita bisa belajar bahasa isyarat. Kami ada kelas Sabtu dan Minggu untuk siapa pun yang mau belajar."

Rumina dari jauh mengangguk berkali-kali, memintaku untuk mengiyakan permintaan Pak Direktur sekolah itu. Tentu saja, tanpa anggukan itu pun aku langsung bersedia.

Aku sudah sejak lama ingin belajar bahasa isyarat. Pertama kali aku melihat anak-anak difabel itu berkomunikasi dengan bahasa isyarat, membuatku penasaran setengah mati.

Betapa lucu dan serunya, karena mereka menggunakan seluruh bahasa isyarat itu, seolah-olah sedang membicarakan sesuatu yang seru sebagai pengganti suara.

Apalagi aku bisa ikut berkomunikasi dengan gadis-gadis kecil yang aku tak bisa jelaskan dengan kata-kata. Mereka anak-anak yang kuat dan begitu percaya diri.

"Iya, Pak Geraldi. Saya nggak mau dicuekin sama anak-anak seperti tadi," ujarku yang disambut gelak tawa para guru dan senyuman manis gadis-gadis kecil yang hebat itu.

"Kakak punya sesuatu," ujarku sambil membuat bahasa isyarat memanggil anak-anak itu, dan meminta mereka ikut menuju bagasi belakang mobil.

Aku keluarkan beberapa kotak besar berisi makanan, dan sebuah kotak berukuran sedang yang aku tak tahu apa isinya.

Anak-anak penasaran saat membukanya.

"Aku dapat novel!" Amira mengatakannya dengan gerak isyarat yang bisa kutangkap dengan mudah.

Begitu juga Shanti. "Aku dapat komik!" Wajahnya menunjukkan kegirangan.

Ternyata isinya koleksi buku cerita, novel yang khusus disiapkan Rumina untuk mereka. Anak-anak itu berebutan dengan riang.

Kejutan kedua—karena aku juga sangat menyukai buku. Aku melihat Rumina tersenyum bahagia melihatku sibuk dikerumuni gadis-gadis kecil yang tertawa-tawa.

Saat itu, aku tahu, aku tidak hanya jatuh cinta pada Rumina, tetapi juga pada dunia yang dia kenalkan kepadaku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Aksi
Flash
Rumina dan Dunia yang Membisu
Hans Wysiwyg
Cerpen
Bronze
Jejakku Dilorong Gelap
Muhammad Ari Pratomo
Flash
Bronze
Tokoh Asing dalam Cerita
Afri Meldam
Cerpen
South fight.
fasya aditya
Flash
Pinggiran Pulau (Yard)
karyasmpitinsankamil
Flash
Bronze
Doa Seorang Nabi
Afri Meldam
Flash
Pohon sawo
Mahmud
Flash
Bronze
Kuncup Mawar
mary dice
Flash
Drama Debit Kredit
Noonanisa
Novel
Hunter for The Phantom
godok
Flash
Last Kiss
Ika Karisma
Flash
Bronze
Twinflame
Ron Nee Soo
Flash
Mangue-ku Mangrove
Khairunnisa
Flash
Ugly things are also beautiful
2EZ4HVK
Flash
Pertunjukan Malam
Lebah Bergantung
Rekomendasi
Flash
Rumina dan Dunia yang Membisu
Hans Wysiwyg
Flash
RUMAH SUNYI TANPA AKU
Hans Wysiwyg
Flash
Sebelas-Duabelas
Hans Wysiwyg
Cerpen
AFTER Itaewon October 29,2022
Hans Wysiwyg
Cerpen
Pacar Figuran
Hans Wysiwyg
Flash
Mimpi Teduh
Hans Wysiwyg
Cerpen
Maybe Someday
Hans Wysiwyg
Flash
ONLY-- Sometime Truth is Cruel
Hans Wysiwyg
Flash
Jatuh Cinta, Ternyata....
Hans Wysiwyg
Flash
Kota Sunyi Di Malam Hari
Hans Wysiwyg
Flash
Suatu Hari di Toko
Hans Wysiwyg
Cerpen
MANTRA LUDAH
Hans Wysiwyg
Flash
BAJINGAN
Hans Wysiwyg
Flash
Hari Ini Bapak Menyemir Sepatuku
Hans Wysiwyg
Cerpen
Harmonika Déjà vu
Hans Wysiwyg