Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Selagi berbaring di kamar, aku terpikir -- bukan yang pertama kalinya -- kalau cepat atau lambat Nur bakal pergi meninggalkanku. Aku tahu. Dia cantik dan baik, seperti Cinderela, tetapi ia memakai jilbab dan tidak bicara dalam Bahasa Inggris dan banyak laki-laki suka padanya. Sebaliknya, aku tak seperti pangeran. Badanku kurus. Rambutku ikal dan selalu berantakan. Pakaianku pun itu-itu saja. Yang paling menyebalkan, wajahku tak rupawan -- untuk tidak menyebut jelek. Aku tak menyadari prihal wajah ini sampai aku berusia 15 tahun, ketika aku mulai diganggu oleh dahi lebar, rambut ikal, kulitku yang coklat pekat, juga gigi yang tak rata. Kondisi ini kian diperparah oleh jerawat batu seukuran kacang hijau yang sering muncul di sembarang tempat dan meninggalkan jejak hitam berwarna gosong di wajahku. Sejak saat itu, tentu sampai hari ini, aku masih berusaha menerima keadaan ini sebagai bagian dari anugrah -- untuk tidak menyebut nasib sial. Soal uang, aku juga tak punya banyak, tapi cukuplah untuk kebutuhanku sehari-hari. Maksudku, aku tak mungkin punya banyak uang karena setiap bulan orang tuaku mengirim dalam jumlah yang sama, yang hanya cukup sampai akhir bulan. Karena itu, aku tak pernah mentraktir Nur makan di kantin. Sebaliknya, dialah yang selalu mentraktirku. Kawan-kawanku bilang kalau aku beruntung mendapatkan Nur sebab aku "hanya bermodalkan kapala butoh." Aku tak mau peduli apa kata orang tetapi sekarang aku merasa kalau itu membebaniku. Dalam banyak kasus, mereka sebenarnya tidak pernah peduli padaku. Bahkan kata-kata itu sendiri, sekalipun berangkat dari pengamatan sekilas dan analisis ecek-ecekan, tak lebih dari reaksi spontan atas sebuah momen. Mereka juga bilang, selain cantik dan baik, Nur juga loyal. Aku setuju, sebab aku sendiri merasakannya. Kalau ada yang bilang Nur termasuk mahasiswi yang aktif dan pintar, aku juga setuju. Faktanya memang begitu. Dengan penampilanku yang apa adanya, sementara Nur seperti yang baru saja aku katakan, adalah wajar kalau aku berpikir dia bakal meninggalkanku. Ini hanya soal waktu saja. Ya! Ini hanya soal waktu. Bagaimanapun, pertemuan dan perpisahan adalah sebab akibat yang tak bisa ditukar dengan apapun, dan aku juga tak bisa menyembunyikan kekhawatiran ini. Jadi, kukatakan pada Nur kalau aku takut kehilangannya. Takut sekali. Aku mencintainya, dan, semakin hari, aku semakin mencintainya. Ini membuatku merasa kalau perpisahan adalah kutukan.
"Aku juga begitu," kata Nur. "Semakin hari, aku semakin mencintaimu, Jim."
Aku memintanya berjanji untuk tidak meninggalkanku.
"Aku janji," katanya.
Aku merasa itu belum cukup. Kalau pun dia mengatakan "Aku cinta padamu" tiga kali sehari, seolah-olah itu adalah pil pahit yang harus kutelan, aku masih merasa itu tidak cukup. Maka, dengan rencana yang tidak masuk akal tapi boleh dicoba, aku mengajak Nur ke kontrakanku.
"Aku akan datang," katanya.
Sekarang, ditemani deru kipas angin, aku menunggunya. Dia bilang dia akan datang. Ya. Dia pasti datang. Aku sudah siap dengan kemungkinan terburuk kalau-kalau dia melawan. Bagaimanapun, cepat atau lambat, toh kami juga akan berpisah.*