Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gani duduk di ruang tamu rumahnya, matanya terpaku pada layar ponsel yang tergeletak di atas meja. Waktu terus berlalu, dan Rinto, partner bisnisnya yang seharusnya datang, belum juga menunjukkan tanda-tanda akan datang. Gani melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Tak lama terdengar bunyi pesan masuk. Gani langsung mengeceknya.
“Maaf, Gani. Saya gak bisa datang. Rio, anak saya, baru aja kecelakaan motor. Dia... dia meninggal.”
Gani terdiam, sejenak kata-kata itu menghanguskan pikirannya. Dia merasa begitu berat mendengar kabar itu. Tak lama setelah itu, ia segera mengirimkan pesan belasungkawa kepada Rinto. Meski tidak terlalu dekat, rasa simpati itu hadir begitu saja. Kehilangan seorang anak adalah rasa sakit yang tak terlukiskan.
Gani menghela napas. Istrinya, Sarah, yang baru datang dan memperhatikan perubahan di wajah suaminya bertanya dengan penasaran, “Ada apa?”
"Rinto gak jadi datang. Baru aja dia kasih kabar.”
“Kabar apa?” tanya Sarah lagi, tambah penasaran.
“Anaknya... Rio... kecelakaan… dia... meninggal," jawab Gani perlahan, dengan ekspresi wajah yang berat.
Sarah menatap suaminya dengan mata yang dipenuhi kekhawatiran, lalu dengan lembut meraih tangan Gani. “Itu sangat tragis,” katanya, suaranya hampir berbisik.
Setelah beberapa saat, Gani meminta izin untuk menemui anaknya, Gea, yang sedang terbaring di kamar. Gea adalah satu-satunya anak mereka, seorang gadis remaja yang cantik dan berprestasi di sekolah. Namun, belakangan ini, Gea tengah sakit parah, terbaring lemah di tempat tidur.
Gani masuk ke kamar dengan hati-hati. Gea tampak pucat, wajahnya sedikit membengkak karena demam, namun matanya masih memancarkan semangat yang kuat.
“Gea, bagaimana keadaanmu?” tanya Gani dengan suara lembut. Dia duduk di samping tempat tidur, mengelus rambut anaknya yang terurai di atas bantal.
Gea tersenyum meskipun suaranya lemah. “Aku gak apa-apa, Pa. Cuma butuh waktu. Dokter bilang aku bisa sembuh. Aku punya banyak rencana, Pa... Aku ingin jadi arsitek. Aku ingin merancang gedung-gedung tinggi, seperti yang selalu kita lihat di kota besar,” kata Gea dengan mata yang bersinar.
Gani menatapnya penuh haru. “Kamu pasti bisa, Gea. Semangatmu luar biasa. Papa akan selalu ada untukmu, untuk membantu mewujudkan semua impianmu.”
Gea mengangguk, meskipun wajahnya semakin pucat, tapi senyumnya tetap ada. Gani memeluknya dengan erat, berharap bisa memberikan kekuatan untuk melawan penyakit anaknya.
Gea menatap ayahnya dengan mata penuh harap, meskipun tubuhnya terkulai lemah. “Pa,” katanya pelan, “kalau aku... kalau aku gak bisa bertahan... aku mau dimakamkan gak jauh dari sini, dekat sama Papa dan Mama. Aku mau kalian selalu bisa mengunjungi aku, walaupun aku udah gak ada.”
Gani meremas tangan Gea dengan lembut, menahan perasaan yang bergolak di dadanya. “Tenang, Gea, Papa janji. Kalau memang itu yang kamu inginkan, Papa akan buat itu terjadi.” Namun, dalam hati, Gani tetap yakin bahwa putrinya akan sembuh, akan melawan penyakit itu, dan suatu saat akan lulus sekolah, melanjutkan kuliah, dan meraih semua impiannya.
“Tapi Papa yakin itu gak akan terjadi. Tahu kenapa? Karena anak Papa pasti akan sembuh.”
“Terima kasih, Pa.”
“Gea… Papa gak sabar mau datang ke wisudamu nanti,” kata Gani dengan senyum yang mencoba menghapus kekhawatirannya.
Gea tertawa lemah, namun senyum itu tetap hadir di wajahnya. “Pa, aku kan belum lulus SMA. Wisuda kuliah masih jauh.” Mereka tertawa bersama, meskipun tawa itu sedikit terharu.
Gani berbalik, matanya menangkap sosok Sarah yang berdiri di balik pintu. Wajah Sarah tampak terluka, dan air mata menetes pelan di pipinya. Sarah tersenyum tipis, namun mata itu menyimpan kesedihan yang dalam.
Tanpa berkata apa-apa, Sarah keluar dari kamar dan berjalan menuju halaman belakang. Sarah menuju ke makam keluarga yang terletak di sudut halaman, di mana bunga-bunga segar terhampar di atasnya. Orangtuanya dan beberapa keluarganya dimakamkan di sana.
Dengan tangan gemetar, Sarah menaburkan bunga di atas sebuah nisan yang tampaknya masih baru. Perlahan, ia mengusap nisan itu, sambil berkata lirih, “Papamu belum bisa menerima kepergianmu, Sayang.”
Pada batu nisan itu ada tulisan dengan huruf besar. GEA.