Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Baby, if I could be your only one
I would give my everything
To be yours
Baby, if I could be your only one
I would love you endlessly
[Only by -Lee Ha Yi]
Suara lembut Lee Hi memenuhi ruangan kecil di sudut kafe Rosewood Retreat di sudut jalan Braga.
Karin menyandarkan kepalanya pada telapak tangan, matanya setengah terpejam, dan senyum kecil menghiasi wajahnya.
Entah yang keberapa kali hari ini lagu Only itu diputar. Tapi tetap saja bisa membuat Karin merasakan "bawang" di matanya.
Rio duduk di depannya, menyeruput es kopi dengan ekspresi yang selalu membuat Karin geli. Mata Rio menyipit, seolah minuman itu terlalu pahit untuk lidahnya.
“Kenapa kamu suka banget lagu itu?” akhirnya Rio penasaran melihat Karin terus saja terbuai, bahkan meminta Rio diam jika lagu itu tengah mengalun.
Karin membuka matanya perlahan. “Aku nggak tahu. Lagu ini... kayak aku banget.”
Rio menyandarkan punggungnya, menyilangkan tangan di dada. “Berarti lagu ini bicara tentang aku juga. Karena kalau tentang kamu, otomatis tentang aku.”
Karin tertawa kecil, menggelengkan kepala. “Kamu itu ya...”
“Udah ganteng, perhatian, dan sangat layak untuk kamu cintai?” potong Rio dengan nada serius.
“Bisa nggak sekali aja kamu nggak narsis?” balas Karin, menahan tawa.
Rio mengangkat bahunya. “Nggak bisa. Karena aku sadar, aku terlalu sempurna buat kamu.”
Karin mendengus pelan, tapi di dalam hatinya, dia tahu Rio benar. Kehadiran laki-laki itu seperti lembaran puisi yang tak henti-hentinya membuatnya terpesona.
***
Pagi itu, mereka berjalan menyusuri trotoar menuju Braga Citywalk. Matahari baru saja muncul dari balik awan, memancarkan sinar hangat yang menembus dedaunan. Karin memeluk lengannya sendiri, kedinginan karena lupa membawa jaket.
“Dingin, ya?” tanya Rio, yang sudah memperhatikan dari tadi.
“Lumayan,” jawab Karin, menggigil kecil.
Tanpa berkata apa-apa, Rio melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahu Karin. “Aku nggak mau pacarku kedinginan. Kalau kamu sakit, siapa yang bakal aku ganggu nanti?”
Karin tertawa kecil sambil mengenakan jaket itu. “Kamu selalu punya alasan buat jadi pahlawan.”
Rio berhenti sejenak, menatap Karin dengan senyum miring yang khas. “Bukan pahlawan, cuma cowok biasa yang kebetulan jatuh cinta sama cewek paling luar biasa.”
Karin merasa pipinya memerah, tapi dia pura-pura sibuk mengikat tali sepatunya.
"Sini aku bantuin?" ujar Rio setengah menunduk, tapi langsung ditolak Karin dengan gelengan.
***
Di kafe favorit mereka, Rio selalu punya kebiasaan yang sama. Dia akan memesan satu gelas kopi hitam, walau dia sendiri tidak terlalu menyukai rasanya.
“Kenapa kamu selalu pesan kopi kalau kamu nggak suka?” tanya Karin suatu hari.
Rio mengangkat bahunya. “Biar kelihatan keren aja.”
“Serius?” Karin menatapnya skeptis.
“Nggak juga. Aku pesan kopi supaya ada alasan buat lihat kamu sambil nunggu kamu selesai makan roti keju itu. Kamu lucu banget kalau lagi makan.”
Karin menelan roti di mulutnya dengan cepat. “Kamu selalu aneh, tahu nggak?”
“Tapi kamu selalu suka kan?” Rio tersenyum penuh kemenangan.
Karin tidak bisa menyangkal. Setiap perhatian kecil Rio—dari mengusap remah roti di sudut bibirnya sampai memastikan payung mereka selalu terbuka di saat gerimis—membuat Karin merasa menjadi perempuan paling beruntung di dunia.
***
Hari ini mereka janjian lagi. Di Braga Citywalk lagi. “Rio,” panggil Karin, saat mereka duduk di bangku di sisi trotoar sambil menikmati senja.
“Hm?” Rio menoleh, ekspresinya tenang.
“Kenapa kamu selalu baik sama aku?”
Rio menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Karena kamu, Karin. Kamu itu... tempatku pulang.”
Karin terdiam. Kata-kata Rio sederhana, tapi begitu merasuk ke relung hatinya.
Lagu Only tiba-tiba terputar di kepalanya, seolah semesta sedang mempertegas apa yang Rio baru saja katakan.
“Tempat pulang, ya?” gumam Karin, lebih kepada dirinya sendiri.
Rio mengangguk. “Iya. Kamu itu kayak rumah, tempat di mana aku selalu pengen kembali, nggak peduli aku pergi sejauh apa.”
Karin menunduk, menyembunyikan senyum yang tak bisa ia tahan.
"Aku terngiang lagu Only", ujar Karin tiba-tiba.
"Kok bisa?"
“Lagu itu nggak bikin kamu bosen ya?” komentar Rio, meregangkan kaki.
“Karena lagu itu selalu ngingetin aku ke kamu,” kata Karin pelan.
Rio menoleh cepat, sedikit terkejut. “Masa?”
Karin mengangguk, menatapnya dengan mata yang penuh makna. “Liriknya... nadanya... semuanya kayak menggambarkan gimana perasaanku ke kamu.”
Rio terdiam sejenak, matanya menerawang ke bintang-bintang. “Rin, kalau ada orang yang lebih beruntung di dunia dari aku, aku nggak tahu siapa dia.”
Karin tertawa kecil, menggeleng pelan. “Kamu tuh...”
“Ganteng, perhatian, dan sangat layak kamu cintai,” potong Rio lagi, menyelesaikan kalimat yang sering ia gunakan.
Karin tertawa lebih keras kali ini, tapi matanya berkaca-kaca. Di dalam hati, ia tahu bahwa cinta Rio adalah hadiah terindah dalam hidupnya.