Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rinto merasa bangga melihat motor baru di garasi. Itu adalah hadiah untuk anak semata wayangnya, Rio, yang baru saja lulus SMA dengan nilai tertinggi. “Ini hadiah untuk kamu, Rio. Kamu pantas mendapatkannya,” katanya sambil memberikan kunci motor kepada Rio. Anak itu tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebahagiaan.
“Apa, Pak? Benar ini?” Rio hampir tidak percaya.
Rinto mengangguk, merasakan kebanggaan yang mendalam. Rio segera mengambil kunci itu, lalu bergegas menuju motor barunya. “Aku jalan dulu, ya, Pak!” kata Rio, suara gembiranya mengisi udara pagi yang tenang.
Rinto tersenyum puas, kemudian bergegas keluar menuju mobil sedan hitamnya. Pekerjaan menanti, ada pertemuan bisnis dengan rekanannya, Gani. Dia memutar kunci mobil dan melaju, meninggalkan rumah dengan perasaan yang lebih ringan.
Namun, begitu mobilnya hendak keluar dari pekarangan, Rinto terhalang oleh seorang pengemis yang berdiri tepat di depan mobil. Pria itu mengenakan pakaian compang-camping, wajahnya kotor, dan tangan kirinya memegang cangkir plastik yang hampir kosong. Dia memandang Rinto dengan tatapan tajam.
“Minta sedikit uang, Pak,” kata pengemis itu dengan suara serak, memegang cangkir plastik itu lebih dekat.
Rinto menatap pengemis itu dengan kesal. "Gak ada duit," jawabnya pendek, enggan. Dia buru-buru menekan pedal gas, berharap pengemis itu mundur.
“Jangan bohong, Pak. Saya lihat tadi Bapak bisa beliin motor buat anak. Kenapa Bapak gak bisa kasih sedikit untuk orang yang butuh kayak saya? Saya lapar, Pak.” Pengemis itu menyusul, berdiri di depan mobil, tidak bergerak.
Rinto marah. “Udah, jangan banyak omong!” serunya, lalu menyiramkan sisa kopi yang ada di gelas miliknya ke arah pengemis itu, membuat pria itu terkejut dan mundur. “Pergi sana!”
Pengemis itu tetap diam, hanya berkata pelan, “Hati-hati di jalan, Pak.”
Rinto merasa ada yang aneh dengan kata-kata itu. Sebuah perasaan tidak nyaman merayap di dalam dirinya, seperti ada yang mengancam. Dia merasa emosi, tetapi memaksakan diri untuk tetap tenang. "Hati-hati? Hah! Apa maksudnya?" pikirnya, sebelum menekan pedal gas dengan lebih keras.
Mobil Rinto melaju dengan cepat, meninggalkan pengemis yang tersungkur di trotoar karena menghindari tabrakan. Pengemis itu berusaha bangkit sambil menahan sakit akibat terserempet badan mobil.
Setelah beberapa kilometer, ponsel Rinto berbunyi. Itu adalah panggilan dari Gani, rekan bisnisnya. Rinto meraba-raba, mencoba mencari ponsel yang terjatuh entah di mana. Tiba-tiba, matanya beralih ke layar ponsel yang tergeletak di samping kursi. Saat itulah ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut. Seorang pengendara motor melintas di depannya, tampak melaju dengan kecepatan tinggi. Tanpa bisa menghindar, Rinto menabraknya dengan keras.
Rinto melihat seorang pemuda terjatuh di jalan, motor tergeletak jauh dari tubuhnya. Rinto mendekat dan terperanjat melihat wajah pemuda itu. “Rio!” serunya, tubuhnya bergetar. Anaknya, Rio, tergeletak tak bergerak di jalan. Darah mengalir dari luka di kepala Rio, tubuhnya terkulai lemah.
Rinto panik. “Rio, Rio... bangun, nak! Tolong, jangan! Jangan seperti ini!” Dia mengguncang-guncang tubuh anaknya, tetapi tidak ada respons. Rinto berteriak, memanggil bantuan.
Saat ambulans datang dan membawanya ke rumah sakit, hatinya tidak tenang. Dia hanya bisa menunggu di ruang tunggu, memandang jam di tangan yang berdetik pelan. Tidak lama kemudian, seorang dokter datang ke arahnya. Rinto berdiri, berharap mendengar kabar baik.
"Dokter, bagaimana keadaan anak saya? Rio... dia..." Rinto terbata-bata, tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
Dokter itu menatap Rinto dengan serius. Wajahnya tampak familiar, tapi Rinto merasa ada yang aneh. Perlahan, matanya melebar saat ia menyadari siapa dokter itu. Dia tak percaya apa yang dilihatnya.
Dokter itu sedang menjelaskan keadaan Rio. Tapi Rinto tidak mendengarnya. Matanya menatap lurus ke wajah sang dokter. Wajah itu adalah wajah pengemis yang tadi pagi berdiri menghalangi mobilnya!