Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ini sudah hari ke-70 Almira kembali ke taman labirin dekat rumahnya setiap sore. Menikmati senja, hingga tirai malam turun menyelimuti langit. Menggantikan semburat senja dengan keteduhan gelapnya tirai malam yang bertabur gemintang. Almira masih di tempat yang sama, dengan harapan yang sama; Ridwan datang dan memeluknya lagi.
“Hai, aku masih di sini. Tempat favorit kita di setiap sore.”
Almira mengirimkan pesan itu kepada Ridwan. Setelah mengirim pesan itu, Almira menatap layar ponselnya dengan nafas tertahan. Tapi layar itu tetap gelap, tanpa ada notifikasi balasan. Hatinya seolah tenggelam lebih dalam ke dalam jurang yang tak berdasar. Ia tahu, bahwa nomornya sudah diblokir oleh Ridwan. Tapi setiap kali ia mengirmkan pesan ia berharap Ridwan sedang membuka blokirnya.
Sikap Almira sungguh terlihat bodoh. Ia berjalan melewati hari demi hari dengan harapan yang ia sendiri tak yakin akan menjadi nyata.
Taman labirin itu tak lagi terasa seperti tempat favorit mereka, melainkan cermin bagi hatinya yang tak tahu arah. Setiap langkah yang ia ambil seolah mengingatkan bahwa ia sedang berputar-putar di jalur yang sama, tanpa tahu kapan atau apakah ia akan menemukan jalan keluar.
***
“Kapanpun kamu ingin kembali, kembalilah! Aku akan selalu menunggu kamu di sini. Saat kamu kembali, ku pastikan kamu akan menemukan aku di sini saat senja menyambut malam.” janji Almira di hari perpisahan mereka.
“Jangan pernah menunggu aku, Ra. Kamu hanya akan menyiksa dirimu sendiri. Kamu tau, kita tak akan mungkin melanjutkan hubungan ini.” tegas Ridwan sore itu. Wajahnya menyimpan rasa frustasi. Sejujurnya ia pun berat mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka. Karena ia masih sangat mencintai dan menyayangi Almira. Namun ia sadar, hubungannya dengan Almira tak mungkin bisa dilanjutkan.
“Aku tau. Tapi, biarkan aku menunggu kamu berubah pikiran dan kembali ke sini. Aku gak tau, gimana aku tanpa kamu setelah ini.” Ucap Almira dengan nada putus asanya. Air matanya sudah mengembang di pelupuk mata.
“Please, jangan nangis, Ra.” Ridwan segera menarik Almira dengan lembut kedalam pelukannya. Mencium puncak kepala Almira berkali-kali. Ia tau, Almira begitu sakit dengan perpisahan ini. Begitu pula dengan dirinya.
“Bawa aku pergi sama kamu, Rid. Kita menikah. Aku mohon…” lirih Almira di sela tangisnya yang kian pecah, dan peluknya yang kian erat.
Tanpa Almira tau, mata Ridwan pun mulai basah. Ia tau betapa sakitnya Almira saat ini. Tapi Ridwan tak punya pilihan, ia harus mengatakannya dengan jujur. Bahwa dengan tegas Ayah Almira meminta Ridwan melepaskan Almira.
“Aku gak bisa, Ra. Maaf.” Pelan Ridwan mengatakan itu dengan begitu lirih di telinga Almira.
“Kalau kamu pergi, aku nggak akan pernah utuh lagi, Rid," ucap Almira di antara tangisnya. Ridwan menarik nafas panjang, seolah mengumpulkan kekuatan. "Kamu akan tetap utuh, Ra. Bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Aku... aku yang nggak akan pernah utuh setelah ini. Tapi kamu jangan khawatir. Aku bisa untuk tetap baik-baik aja." jawab Ridwan sambil melonggarkan pelukannya.
“Ayah gak adil! Ayah egois!” rutuk Almira.
Ridwan mengangat sedikit dagu Almira. Tatapan mereka bertemu. Ridwan menatap Almira dengan sangat dalam namun meneduhkan.
“Ayahmu adil. Ayahmu benar. Dia ingin yang terbaik untuk putri cantiknya. Dia ingin kamu bahagia dan mendapatkan pilihan yang terbaik. Bukan denganku yang hanya seorang duda, dengan memiliki tanggung jawab anak-anak yang masih kecil, dan pekerjaan yang tak seberapa. Aku mohon, bahagialah, Ra setelah ini. Maafkan aku yang udah pernah membawa kamu masuk ke dalam hidup aku. Biarkan aku pergi, ya. Jaga diri baik-baik. Dan jangan pernah menunggu aku lagi.” ucap Ridwan pelan, namun sangat menghantam hati Almira.
Almira hanya menggeleng kecil dengan derai air mata yang begitu deras. Lidahnya terlalu kelu untuk menahan kepergian Ridwan.
Ridwan benar-benar meninggalkan Almira setelah mendaratkan kecupan hangat di kening Almira untuk terakhir kalinya.
***
Taman labirin itu tetap sama, dengan jalan berliku yang ia hapal di luar kepala. Tapi sore itu terasa berbeda. Seolah ada angin yang membawa aroma masa lalu—dan hati Almira terus berharap, untuk sesuatu yang ia tahu tidak akan pernah datang.
Langkah Almira terasa berat ketika ia berjalan menuju pintu keluar labirin. Cahaya lampu taman semakin redup, menyisakan bayangan panjang yang membentang di jalannya. Hatinya perih, namun ia memaksa dirinya untuk melangkah.
"Ridwan..." gumamnya, nyaris seperti doa yang terucap tanpa sadar.
Ketika ia hampir sampai di pintu keluar, angin malam membawa aroma familiar. Almira berhenti, memejamkan mata. Aroma ini—campuran aroma buah-buahan, rempah, dan kayu-kayuan yang begitu segar dan maskuli—selalu mengingatkannya pada Ridwan. “Aku seperti mencium wangimu, Rid.” Lirih Almira sambil menghirup dalam-dalam aroma wangi yang diterbangkan angina ke indra penciumannya
Ia menoleh, matanya menyapu labirin yang mulai gelap. Tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya keheningan yang menemani. Almira kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan taman labirin.
"Almira," suara itu datang dari belakang, begitu lembut namun penuh kerinduan saat Almira baru saja ingin masuk ke dalam mobilnya.
Dia berbalik, dua langkah di depannya, berdiri Ridwan. Sosok yang tak pernah ia kira akan dilihat lagi. Dadanya berdegup kencang, seolah waktu melambat hanya untuk mereka berdua.
Ridwan mendekat, tanpa berkata apa-apa, langsung memeluk Almira dengan begitu erat, seperti takut kehilangan. Almira terpaku, merasakan setiap detak jantung pria itu. Hangat, nyata, tetapi menyakitkan.
"Tiga bulan ini, aku mencoba melupakanmu," bisik Ridwan di dekat telinganya. "Tapi aku gagal. Aku... merindukanmu lebih dari apapun, Ra."
Air mata Almira mengalir tanpa bisa ditahan. Dia ingin berkata, ingin menahan Ridwan agar tidak pergi lagi, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Ridwan melonggarkan pelukannya, menatap Almira dengan mata yang penuh luka. "Tapi aku datang ke sini untuk mengucapkan selamat tinggal."
Kata-kata itu seperti angin dingin yang menusuk hatinya. "Kenapa...?" bisik Almira.
Ridwan tersenyum tipis, penuh kepahitan. "Minggu depan kamu menikah, kan? Sebelum kamu menikah, aku mau benar-benar pamit sama kamu.”
“Rid…” Almira menggeleng pelan. Tangannya erat menggenggam ujung jaket Ridwan. Antara ia tak ingin menikah dan ia tak ingin Ridwan pergi lagi.
“Kita tidak akan pernah bisa bersama. Kamu tahu itu, dan aku juga tahu itu. Tapi aku ingin kau tahu, aku akan selalu mencintaimu. Janjilah untuk bahagia bersamanya, Ra." pinta Ridwan dengan tatapan serta hati yang penuh luka.
Almira terdiam. Hanya air mata yang mampu membahasakan perasaannya saat ini. ia sadar, tentangnya dan Ridwan hanya menjadi kenangan akan cinta yang tidak pernah bisa ia miliki sepenuhnya.