Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tama berjalan perlahan di antara deretan makam yang sunyi. Menjadi seorang penggali kuburan adalah pekerjaan yang tak pernah ia pilih dengan senang hati. Tapi hidup sering kali membawa orang pada pilihan yang tak terduga.
Malam itu, angin berhembus pelan, menggerakkan dedaunan yang gugur di sepanjang jalan setapak. Dia baru saja selesai menggali sebuah makam untuk seorang pemuda yang tewas dalam kecelakaan motor. Lengan dan punggungnya terasa pegal setelah seharian bekerja keras. Namun, tubuh lelah itu tak bisa mengusir kegelisahan yang terus menggerogoti pikirannya.
Tama sering mendapati dirinya terjebak dalam kebingungan. Kesulitan ekonomi, pekerjaan yang tak jelas, dan kini masalah dengan cinta yang tak kunjung menemukan jawabannya. Susan, wanita yang ia cintai, menolak hubungannya dengan alasan Tama tak punya masa depan yang cerah. Orangtua Susan bahkan terang-terangan melarang mereka bersama.
Tama menarik napas panjang dan menatap langit malam yang penuh bintang. Seperti kebiasaannya, ketika hidupnya terasa berat, ia akan datang ke tempat ini—kuburan. Tempat di mana tak ada yang mengganggunya.
Di hadapan makam-makam yang sudah lama terlupakan, ia merasa seolah-olah dirinya adalah bagian dari mereka—terasing, terabaikan dan tidak berarti. Tidak ada yang menggubrisnya di dunia yang sibuk ini.
“Kenapa kamu selalu datang ke sini?” suara seorang pemuda terdengar di belakangnya, membuat Tama terkejut. Pemuda itu duduk di atas batu nisan yang tak jauh dari tempat Tama berdiri. Wajahnya masih muda, sepertinya mereka sebaya.
Tama menoleh dan melihat pemuda itu tersenyum, seolah tak ada yang aneh dengan situasi mereka. Pemuda itu mengenakan pakaian yang agak lusuh, namun tampak tenang.
“Aku... aku suka menyendiri di sini,” jawab Tama, mencoba menenangkan diri. “Orang mati tidak bisa menggangguku. Mereka sudah tak punya urusan dengan dunia ini. Yang menggangguku selalu orang-orang yang masih hidup.” Tama menarik napas, mencerna kata-katanya sendiri.
Pemuda itu tertawa kecil. “Maksudmu, orang-orang yang hidup terlalu banyak masalah dan bicara terlalu keras, sementara yang mati tidak pernah mengeluh?”
Tama mengangguk. “Ya. Mereka tidak pernah menggangguku. Mereka hanya diam.”
Malam semakin larut, dan udara terasa semakin dingin. Tama duduk di samping pemuda itu, menyandarkan punggung pada batu nisan yang keras.
“Lalu kenapa kamu menguburkan orang mati, kalau kamu sendiri lebih suka berada di sisi mereka?” tanya pemuda itu.
“Kadang-kadang, orang mati adalah satu-satunya yang mengerti. Mereka sudah tidak punya kepentingan. Mereka sudah selesai dengan semua urusan dunia. Aku, di sini, bekerja untuk mereka. Mungkin aku bisa membantu mereka untuk menemukan kedamaian.”
Pemuda itu terdiam sejenak, lalu berkata, “Tapi kamu juga punya hak untuk menemukan kedamaianmu sendiri, kan?”
Tama menatap langit. Bintang-bintang itu seperti menari di angkasa, tak peduli dengan penderitaan orang di bawahnya. Dia merasa hampa, tak tahu harus kemana. “Aku sudah mencobanya,” jawab Tama pelan. “Aku sudah mencoba untuk mencari kedamaian di tempat lain. Tapi aku tak bisa lari dari kenyataan. Hidup ini penuh dengan masalah. Aku punya hutang yang tak kunjung selesai, dan aku tak bisa memberikan masa depan yang lebih baik untuk orang yang aku cintai.” Suaranya hampir hilang karena terhalang kesedihan.
Pemuda itu menunduk, seperti memahami apa yang dirasakan Tama. “Jadi, kamu datang ke kuburan ini karena kamu merasa tak punya harapan?” tanyanya lembut.
Tama menatap pemuda itu dengan tatapan kosong. “Mungkin. Mungkin aku hanya ingin merasa tenang, jauh dari masalah yang menumpuk. Di sini, aku merasa seperti bisa melupakan segalanya.”
Pemuda itu tersenyum samar. “Aku mengerti. Aku rasa kita semua pernah merasa seperti itu.” Dia terdiam beberapa detik, lalu menambahkannya, “Tama, aku ingin berterima kasih padamu.”
Tama terkejut. “Berterima kasih? Kenapa?”
“Karena kamu sudah menguburkan jasadku tadi siang.”