Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Benarkah semesta akan mendukung jika bertekad keras, mengapa ibu tidak---Nisa Arundati
Nisa Arundati duduk termenung di bawah pohon ketapang besar di halaman sekolah, sendirian. Hatinya berontak.
Menurutnya, mestakung--semesta mendukung, yang sering diceritakan Pak Iswandi guru bahasanya cuma lelucon pahit. Nisa merasa jauh dari semua dukungan yang dijanjikan semesta. Makanya ia memberontak!.
Selembar kertas ujian Matematika, pelajaran favoritnya dengan semua jawaban salah, sengaja dilakukannya. Ia mau tau apa kata ibunya nanti.
Suara teman-temannya yang bercanda di halaman, di kantin, di kelas, terdengar seperti ironi. Ia merasa benar-benar sendiri dalam keramaian.
Rasanya hidup mereka enak, tak perlu belajar mati-matian untuk dicintai orang tua mereka. Bukan sepertinya. Meski selalu jadi juara kelas, tetap saja Ibu terasa jauh. Seolah ia benar datang dari Venus, sedangkan Nisa mungkin perempuan dari Mars.
“Kenapa bengong di sini sendirian, Nis?” suara lembut Karina, teman sebangkunya, yang tiba-tiba sudah berdiri disampingnya menyentak lamunannya.
Nisa menoleh, memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, Rin. Cuma… lagi mikir aja.”
“Mikir apa? Nilai kita sama-sama jelek, kok. Santai aja.” Karina duduk di sampingnya, mencomot daun kering dari tanah.
“Beda, Rin. Kalau kamu nilai jelek, ngak ada yang marah. Aku? Aku pasti diomelin habis-habisan sama Ibu. Kamu tau kan gimana dia?” suara Nisa bergetar, nyaris pecah.
Karina terdiam sejenak, lalu menepuk pundak Nisa. “Nis, Ibu kamu sayang kok sama kamu. Mungkin caranya aja yang beda.”
“Sayang?” Nisa mendengus. “Dia lebih peduli sama piala dan sertifikat daripada aku. Kadang aku ngerasa kayak robot. Aku cuma disayang kalau berhasil.”
“Jangan ngomong gitu. Aku malah pengen kayak kamu. Selalu juara. Aku kayak gini aja, Ayah-Ibu bangga kalau aku mau bantu masak di rumah,” ujar Karina dengan tawa kecil yang dipaksakan.
Betapa kontrasnya hidup mereka. Karina tak perlu membuktikan apapun untuk mendapatkan cinta orang tuanya. Sementara dirinya? Segala daya upaya seolah tidak pernah cukup.
***
Malam itu, Nisa duduk di meja makan, menunggu Ibu pulang. Suasana rumah hening, hanya suara jarum jam yang terdengar. Ayahnya sudah lama tidak tinggal bersama mereka, meninggalkan lubang di hati yang tak pernah bisa ditambal.
Pintu depan terbuka. Ibu masuk dengan langkah tergesa, membawa tas belanjaan.
“Ibu, aku mau ngomong,” Nisa menyapa pelan.
“Tunggu sebentar. Ibu capek. Hari ini banyak kerjaan,” jawab Ibu tanpa menoleh.
Nisa menggigit bibir, menahan tangis. Tapi dia harus mengatakan ini. “Ibu… aku dapat nilai jelek tadi. Ujian Matematika.”
Langkah Ibu terhenti. Dia menoleh, menatap Nisa dengan tatapan dingin. “Kamu nggak belajar? Selalu main HP, ya? Udah Ibu bilang, fokus sama pelajaran!”
“Ibu…” suara Nisa tercekat. “Aku sudah belajar. Tapi—”
“Tapi apa?, kalau kamu terus begini, gimana mau jadi anak sukses?” Ibu memotong, suaranya meninggi.
“Apa aku harus selalu sukses, Bu, biar Ibu sayang sama aku?” pertanyaan itu keluar begitu saja, membuat suasana membeku.
Ibu terdiam, tampak terkejut. Tapi bukannya menjawab, dia hanya mengalihkan pandangan. “Nisa, kamu harus tidur. Besok sekolah.”
Nisa bangkit perlahan, berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu dan membiarkan air mata mengalir tanpa henti.
***
Di kelas, suasana belajar berjalan seperti biasa. Tapi pikiran Nisa melayang. Saat jam istirahat, dia kembali menyendiri duduk di bawah pohon ketapang. Kali ini, Karina datang bersama seorang teman baru, Dita.
“Nis, aku bawa camilan. Mau?” Karina menyodorkan kotak bekal berisi roti isi cokelat.
Nisa menggeleng. “Nggak lapar. Tapi makasih, ya.”
Dita menatap Nisa penasaran. “Kenapa sih kamu keliatan murung terus? Aku liat kamu di kelas selalu pinter, loh. Aku aja sering nyontek PR kamu,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Nisa memandang Dita, lalu menghela napas panjang. “Aku cuma capek. Kadang aku pengen kayak kalian. Nggak harus pinter buat dicintai.”
Karina dan Dita saling pandang, bingung. Karina akhirnya angkat bicara, “Nis, setiap orang punya masalah masing-masing. Kamu tau nggak, aku sering iri sama kamu. Tapi Dita pernah bilang ke aku, hidup itu nggak perlu selalu dibandingin. Bener, kan, Dit?”
Dita mengangguk. “Iya. Aku pernah dengar, orang tua tuh sayang sama anaknya, tapi kadang mereka nggak tahu cara ngungkapinnya. Mungkin Ibu kamu gitu.”
Nisa tersenyum tipis, meski hatinya masih berat. “Mungkin…”
***
Sepulang sekolah, Nisa mencoba bicara lagi dengan Ibu. Kali ini dia berusaha menyusun keberanian lebih besar. Agar ibu mau mendengarnya.
“Ibu, boleh aku cerita?” tanyanya saat Ibu sedang menyeduh teh, dengan sedikit memaksa.
Ibu mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Aku ngerasa capek, Bu. Aku selalu berusaha jadi anak yang Ibu mau, tapi kayaknya ngak pernah cukup. Kenapa sih, Bu, Ibu ngak pernah bilang kalau Ibu sayang sama aku?” suara Nisa bergetar.
Ibu tertegun. Tangannya yang memegang gelas teh berhenti di udara. Dia menatap Nisa dengan mata yang berkaca-kaca.
“Nisa…” suara Ibu serak. “Kamu tahu ngak, kenapa Ibu selalu keras sama kamu? .Karena Ibu ngak mau kamu mengalami hidup yang sulit seperti Ibu. Ibu ingin kamu punya masa depan yang lebih baik.”
“Tapi aku ngak butuh itu, Bu. Aku cuma butuh Ibu sayang sama aku. Bukan sama nilai atau piala aku.”
Air mata mulai mengalir di pipi Ibu. “Ibu sayang sama kamu, Nak. Maaf kalau Ibu bikin kamu merasa nggak dicintai.”
Malam itu, Nisa mencoba membongkar semua sekat. Untuk pertama kalinya, Nisa merasa beban di dadanya sedikit terangkat.
***
Nisa mencoba belajar keras, tapi kali ini, ia melakukannya bukan untuk membuktikan dirinya kepada Ibu, melainkan untuk dirinya sendiri.
Ibu juga mulai melunak, ada pelukan di pagi hari, ada senyum saat Nisa pulang sekolah, ada teh hangat yang menunggu di meja makan.
Kadang, mestakung adalah tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri dan pada orang lain. Apakah benar begitu?, entahlah!.
Mungkin benar kata Karina, orang tua punya cara sendiri menyayangi anaknya, meskipun caranya kadang-kadang tak bisa diterima anak-anaknya.
Nisa senang bisa menikmati hari-harinya sekarang ini.