Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semua orang pasti memiliki mimpi, hobi, cita-cita, dan minat di masing-masing bidang, kan?
Pastilah ...
Tapi, apa yang terjadi dengan anak-anak yang dikekang dengan peraturan dan cita-cita orang tua? Yang selalu di atur untuk menyukai apa dan berminat tentang apa?
Mari kita ambil satu pengalaman yang dimiliki -sebut saja - Peter.
Peter adalah seorang remaja laki-laki berumur 14 tahun, dia memiliki hobi tersendiri. Tapi, ayahnya selalu keras dan menentang hobi Peter. Padahal Peter lumayan berbakat di hobinya itu.
"Peter! Bagaimana bisa nilaimu hanya 82 di matematika?! Kau harus belajar lebih giat!" bentak Ayah Peter.
"Tapi ayah, aku sudah-"
"Tidak ada kata tapi! Tidak ada musik untuk dua minggu ke depan, fokus untuk belajar!" Ayah Peter melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Peter yang termenung.
"Huh... Ayah tak pernah mendengarkanku...," gumam Peter sambil meremat almameter seragamnya, sedikit kesal dengan ayahnya yang selalu menuntut kesempurnaan akademis si anak.
Ah, sepertinya jika Peter jadi berandal di sekolah tapi memiliki nilai memuaskan, Ayah Peter tak akan peduli tentang kenakalan Peter.
Anak lelaki itu pun menghela nafasnya, mengambil kertas hasil ulangan tambahannya lalu berjalan menuju kamar.
Saat Peter memasuki kamarnya, langsung saja anak lelaki itu berlari ke arah kasur dan menangis sejadi-jadinya.
Tidak ada musik, sama seperti tidak ada makanan bagi Peter. Bocah lelaki ini sangat menyukai musik, bahkan dia diam-diam mengikuti eskul musik di sekolah. Dan ya, Peter lumayan menguasai musik karena itu memang bidangnya.
Namun, sang Ayah tak pernah mendukung Peter. Selalu menuntut Peter untuk sempurna menurut nafsu pria tua itu sendiri, terlalu egois.
Tok tok tok!
Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Peter kemudian menghapus air matanya, kemudian menjawab dengan suaranya yang parau. "Masuk!"
Pintu dibuka perlahan, menampilkan sosok wanita cantik yang memiliki wajah mirip dengan Peter. "Peter, nak, apa kau sudah makan?"
"Belum bu," jawab Peter lirih, sebenarnya dia juga malas menghadapi ibunya yang selalu berada di pihak ayah, tapi jika dia melawan, situasi akan memburuk.
"Apa yang ayahmu katakan itu benar, kau harus banyak berlatih dan belajar,"
Benar kata Peter, kedua orang tuanya sama saja.
"Iya bu, aku akan lebih berusaha," jawab Peter seadanya, Ibu hanya mengangguk lalu tersenyum singkat, dan pergi keluar kamar.
Setelah ibu pergi, Peter menghela nafasnya, matanya kembali berkaca-kaca.
Malam hari telah tiba, Peter mengendap-endap keluar kamar, berjalan menuuju gudang di mana gitarnya disimpan.
Peter membuka pintu gudang perlahan, mengamati sekitar lalu mengambil gitar kesayangannya, dia membelinya dengan uang tabungan hasil hadiah olimpiade.
Bocah lelaki tersebut berjalan menuju kamarnya, menutup pintunya rapat-rapat lalu mulai memainkan gitarnya setelah dia duduk di kasurnya. Wajah Peter sangat berseri-seri, dia sangat menyukai musik.
Namun, Peter hanya tak tau sedari tadi ada yang memperhatikan pergerakannya.
...
Pagi telah tiba, Peter terlihat bahagia karena berhasil mengambil gitar dan sempat memainkannya. Tapi kebahagiaannya harus berakhir saat menyadari gitarnya hilang. Tidak hanya gitar, kotak berisi kaset-kaset dan buku khusus menulis lirknya juga hilang.
Peter pun panik dan langsung menyibak selimutnya, berlari keluar kamar dengan penampilan yang masih acak-acakan.
Saat berlari, ada sekilas aroma asap yang menyapa indra penciuman Peter, membuat firasatnya semakin memburuk.
Peter sampai di halaman belakang rumahnya, lututnya melemah saat dia mendapati pemandangan di hadapannya ini.
Ayahnya membakar seluruh koleksi Peter yang berhubungan dengan musik, termasuk gitarnya. Tapi gitarnya masih selamat dan bisa digunakan.
Tanpa pikir panjang, Peter berlari maju untuk mengambil gitarnya kembali. Sayangnya. Ayah Peter juga gesit, dia langsung mengambil gitarnya menjauh.
"Ayah, kumohon jangan, aku sudah membelinya susah payah dengan uangku sendiri. Tolong jangan dihancurkan!" rengek Peter sambil masih berusaha mengambil gitarnya kembali.
"Dasar anak bandel, sudah kubilang jangan bermain musik masih saja mengeyel," Ayah Peter mendorong putra satu-satunya itu hingga tersungkur. "Ini untuk kebaikanmu nak."
Gitar yang dipegang tadi pun langsung dibanting oleh Ayah Peter, diinjak-injak, lalu di buang ke api yang sedang membakar koleksi musik Peter.
Bocah lelaki yang menyaksikan adegan tragis tersebut hanya bisa menangis sambil menggumamkan kata 'jangan', namun ya... Sudah terlalu telat untuk melarang dan mencegah.
Sumber kebahagiaan Peter, pelampiasan, minat, dan bakatnya. Telah hancur di tangan sang Ayah yang telah mengontrol segala kehidupan Peter dengan egois.
Tak ada yang membela, tak ada yang berada di sisi Peter, tak ada yang membantu. Hah... Sayap Peter yang sempat sudah siap kembali dipatahkan oleh sang Ayah.
Kira-kira, ada pelajaran apa yang bisa diambil?
Tamat-