Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mau dibilang gimana juga, yang namanya Clarisa temanku yang satu ini, tetap saja begitu ngak mau berubah.
Padahal kalau dibilang cantik, apanya coba yang kurang. Ayahnya orang Batak blasteran, kerja di kantor ekspatriat yang lama berkubang di negeri Balkan, untuk ukuran ganteng jangan ditanya lagi. Ibunya, asli orang Rusia yang memang sudah cantik dari sononya. Tapi ya itu tadi, kerjanya main kosmetikan terus.
“Clarisa, memangnya kamu nggak mikir apa, kalau gonta-ganti kosmetik terus?” Marisa hampir tiap hari sudah ngomong tegas, meskipun dengan nada kuatir yang ngak bisa disembunyikan.
Apalagi sekarang, Marisa melihat temannya yang satu itu sibuk terus memoles pipinya ngak kelar-kelar.
Marisa tambah ngak sabar. “Udah, udah cantik, hayuk pergi, jadi ngak nih?”
“Sabar, bentar lagi.”
“Kenapa memangnya?” Clarisa menjawab santai, melirik sekilas ke cermin besar di depannya. “Ini tren, Ris. Kalau nggak ikut tren, gimana mau tetap cantik?”
“Cantik sih harus, tapi bukan berarti kamu harus pakai semua produk mahal yang lagi viral kan, apalagi kalau kamu nggak tahu isinya apa!” Marisa mendesah, merasa usahanya menasihati sahabatnya ini selalu saja jadi usaha yang sia-sia.
Clarisa mengangkat bahu, lalu menoleh dengan senyum mengejek. “Marisa, kosmetik mahal itu bukan cuma bisa bikin cantik, ini soal gengsi. Kalau kamu pakai produk murah, apa kata dunia?”
“Iya, baiklah gadis cantik temanku. Makan tuh gengsi” Marisa nyaris sewot mendengar jawaban Clarisa. “Dibilangin masih aja bandel” gerundel Marisa melihat temannya acuh.
Bukan kali ini saja mereka berdebat. ini sering terjadi, tapi kali ini, ada sesuatu yang lebih berat membebani pikirannya.
Marisa yang FOMO kalau soal berita, baru saja membaca berita tentang kosmetik yang mengandung bahan berbahaya. Temuan itu termasuk merek-merek yang selama ini dipakai para remaja termasuk wanita dewasa seperti Clarisa.
“Clarisa!, kali ini aku serius”, ujar Marisa menatap temannya si maniak kosmetik mahal itu, “kamu tahu nggak, barusan ada kabar dari instansi resmi yang ngasih daftar kosmetik berbahaya, dan sekarang sedang ada PSK—Penghentian Sementara Kegiatan, alias produksi, karena diduga ada temuan merkuri, hidrokinon, bahkan timbal. Bahannya nggak main-main. Kalau dipakai terus, bukan cuma bikin wajahmu rusak, tapi juga bisa kena kanker atau keracunan.”
Clarisa tertawa kecil. “Ya ampun, Marisa temanku kamu terlalu paranoid deh sama berita begituan, lagian itu juga belum tentu benar kan. Denger!, semua produk yang aku beli itu mahal dan branded, pasti aman. Lagian, mana mungkin kosmetik terkenal ngeluarin produk berbahaya.”
“Memangnya kamu ahli komposisi kosmetik apa?” Marisa balas menantang.
Clarisa terdiam, tapi masih acuh lalu berusaha mengalihkan perhatian dengan mengambil botol serum yang baru ia beli. Ia memencet sedikit cairan ke telapak tangannya dan mulai mengoleskan ke wajah. “Lihat ini, Ris. Kulitku makin glowing, ‘kan?”
Marisa mendesah panjang. Ia tahu argumennya tidak akan membuat Clarisa berubah pikiran dalam semalam, yang ada masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
***
Hari berlalu, dan Clarisa tetap pada saja dengan kebiasaannya. Setiap ada produk baru yang viral di media sosial, langsung dibelinya tanpa mikir lagi, apalagi kalau mahal!.
“Lihat, Ris! Aku baru beli satu set skincare dari Korea. Katanya lagi trending banget,” ujar Clarisa antusias.
“Kamu yakin itu aman? Udah dicek belum?”. Marisa cuma menatap temannya dengan prihatin.
“Ah, kamu lagi-lagi ngomongin cek-cek itu. Aku udah bilang, merek terkenal nggak mungkin berbahaya!” Clarisa mengibaskan tangan seolah mengusir kekuatiran Marisa.
***
Tapi, beberapa minggu kemudian, drama yang aneh mulai terjadi.
Pagi sekali Clarisa bangun dengan rasa gatal di wajahnya. Ia garuk pipinya yang terasa panas, langsung lari kedepan cermin. Seketika ia terkejut. Kulitnya yang biasanya mulus sekarang dipenuhi bintik merah yang menyebar sampai ke leher. Sudah dicoba dibilas wajahnya, tapi rasa perih malah menjadi-jadi.
“Ini... kenapa wajahku?!” suaranya bergetar. Ia meraih ponsel dan menelepon Marisa.
“Nah, lho, giliran ada masalah, telpon aku, memangnya aku ahli kosmetik apa?” Marisa dari ujung telepon malah menggodanya.
“Aku serius Marisa”, Clarisa diujung telepon terdengar panik.
Marisa tiba tak lama kemudian, terkejut melihat kondisi Clarisa. “Astaga, Clar! Apa yang kamu pakai semalam?”
“Skincare yang baru itu,” Clarisa hampir menangis. “Aku nggak tahu ini kenapa!”
Marisa menghela napas dalam-dalam. “Kita harus ke dokter kulit sekarang juga.”
Kali ini Clarisa tak berkutik dan mengikut saja. Menarik pasmina dan menutupi wajahnya saat keluar memasuki mobil.
Di klinik, dokter memeriksa wajah Clarisa dengan cermat. Setelah serangkaian pertanyaan, dokter itu menggeleng pelan. “Clarisa, ini reaksi alergi parah. Kemungkinan besarnya ya karena bahan berbahaya dalam produk kosmetikmu.”
“Apa?!” Clarisa memandang dokter dengan mata membesar. “Tapi ini produk mahal dan terkenal kan dok?”
“Sayangnya, harga dan merek bukan jaminan kan. Apa kamu yakin produknya sudah terdaftar, dan yakin tidak mengandung bahan seperti merkuri atau hidrokinon yang berbahaya untuk kulit,” jelas dokter.
“Orang bisnis kan bisa aja cari untung, apalagi kalau sedang viral. Belum lagi ada orang yang coba-coba memalsukan produk, bisa berabe kan?” ujar si dokter berusaha santai saat treatment Clarisa.
Clarisa merasa dunianya runtuh. Akhirnya apa yang bisa dilakukan si gadis cantik penggila kosmetik ini kalau ngak cuma bisa menangis saat bu dokter memberinya resep untuk meredakan alerginya. Clarisa tahu semuanya tidak akan baik-baik saja dalam waktu singkat.
***
Clarisa duduk sendirian di kamar, menatap cermin di tangannya. Tapi kali ini ia betul-betul jera tak lagi main kosmetikan.
Sudah sebulan ini ia “puasa” kosmetik. Kulitnya masih belum sepenuhnya pulih. Bekas-bekas merah itu menjadi pengingat sebagai bukti kalau selama ini ia ceroboh.
Tiba-tiba ia ingat percakapan dengan Marisa, kemarin. Ia ingat soal PSK yang ia cuekin. “Clarisa kamu tuh cantik, ngak pakai kosmetik juga sudah bisa bikin cowok-cowok kelepek-kelepek” ujar Marisa waktu itu.
“Clarisa?” suara Marisa tiba-tiba memecah lamunannya. “Aku bawa ini buat kamu. Ini produk jaminan yang sudah resmi terdaftar, bebas racun!. Aku tahu kamu masih ingin merawat kulitmu, tapi setidaknya lain kali lebih berhati-hati.”
Clarisa tersenyum kecil, air mata menggenang di sudut matanya. “Terima kasih, Ris. Aku nggak tahu apa jadinya kalau kamu nggak ada.”
Marisa meraih tangan temannya dan menggenggamnya erat. “Aku cuma nggak mau kamu menyakiti dirimu sendiri lagi. Kamu cantik, Clar. Cantik kan ngak melulu dari kosmetik mahal.” Kali ini Clarisa setuju dan mengangguk.