Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kau datang di saat hujan. Kau juga pergi di saat hujan.
Aku masih ingat saat kau pertama kali menyapaku. Seorang mahasiswi berambut pendek yang terkenal dengan sebutan "kilat". Bicaramu cepat, pekerjaanmu efisien, dan kau selalu berlari kemana saja, seolah-olah dikejar sesuatu.
"Gue Adhira, jurusan Fisika, mahasiswa baru. Gua mau kenalan sama lu soalnya lu tipe gua banget. Mau?"
Singkat, lugas dan padat. Memang begitulah kau sedari dulu. Aku yang kala itu tengah sendirian, bak disambar petir di siang bolong. Anehnya, aku mengangguk setuju meski tahu tentang sifatmu yang nyentrik.
"Bram, buruan! Lelet amat, sih!"
Betapa aku merindukan ocehanmu itu. Karna sekarang, kau sudah tak lagi bisa menyuarakannya. Karna sekarang, kau tengah kembali ke bumi. Bak aliran kilat yang menyebar ke seluruh bagiannya.
"Kau takut kilat? Mengapa?"ujarnya sembari mengarahkan kameranya ke langit. "Hanya orang gila yang menyukai guntur. Memangnya kau tak takut tersambar?" tanyaku dengan kesal. "Kalau begitu, kau juga gila. Karena kau berpacaran dengan orang gila! Hahahaha!"
Aku masih ingat dirimu yang periang dan tertawa dengan keras bak guntur. Karna suara tawamu selalu memudahkanku untuk mencarimu. Kebiasaanmu yang memukul orang ketika tertawa selalu membuatku meringis kesakitan sekaligus kesal. Siapa sangka kini semua itu hanya tinggal kenangan.
Lalu, bak kilat yang datang dan pergi tanpa mempedulikan waktu, kau menghilang. Senyummu yang biasanya mencerahkan hari-hariku lenyap. Sosokmu yang berlari kesana-kemari tak lagi terlihat. Tawamu yang biasanya menggema di kantin kampus pun tak ada lagi.
Tiba-tiba saja, semuanya suram.
Tiba-tiba saja, semuanya melambat.
Tiba-tiba saja, semuanya sepi.
Bak kilat yang datang dan pergi tanpa diketahui siapapun, begitu pula dirimu. Tak terhitung berapa banyak orang yang sudah kutanyai, berapa jauh aku mencari, aku tetap tak mendapatkan jawaban tentang misteri hilangnya dirimu.
Di saat itulah, aku mulai menanti turunya hujan. Karna setidaknya, dalam hujan dan kilatan cahaya aku dapat mengingatmu. Petir dan terang sesaatnya akan membantuku untuk mengingatmu. Wahai kau yang datang dan pergi bagaikan kilat.
Namun, suatu hari kilat menyambar di siang bolong. Sebuah pohon tumbang karenanya. Menghalangi sebuah ambulans yang tengah melaju dengan sirine yang meraung-raung.
"Adhira! Adhira! Sadar, nak!"
Aku yang tengah membantu warga, meninggalkan semuanya. Tidak mungkin, pikirku saat itu. Itu Adhira yang lain. Itu bukan dia. Adhira tak ada di sini, aku sudah mencarinya kemana-mana.
Tapi, mungkin saja kan?
Diam-diam, kuikuti ambulans itu. Sambil berdoa dan berharap bahwa yang ada di dalamnya bukanlah dirimu. Kumohon, biarkan pemikiranku ini salah. Kumohon, semoga yang di dalam sana bukanlah Adhira yang ku kenal.
Kau tak akan tahu bahwa aku, aku yang kuat ini, jatuh lemas begitu melihat wajahmu. Aku yang menolak untuk percaya menoleh ke kanan dan ke kiri hanya untuk mendapati wajah ayah dan ibumu yang menemanimu sembari menangis dan berteriak memanggil namamu.
"Na..Nak Bram." ujar ayahmu sembari terbata-bata setelah aku memutuskan untuk menyapanya. Aku ingin penjelasan. Tapi mulutmu tak bisa mengatakannya. "Adhira sakit." ujarnya sembari tersenyum pahit. "Dokter sudah mengatakan bahwa hidupnya tak akan lama lagi, namun ia bersikeras ingin kuliah."
"Dua bulan terakhir ini, kondisinya menurun, jadi kami sepakat untuk pergi mencari pengobatan yang lebih baik. Adhira meminta dengan sangat untuk tidak memberitahu siapa-siapa. Ia percaya tak butuh lama untuk orang-orang melupakannya." ujar ayahmu kala itu sembari menahan tangis.
"Terimakasih ya, Nak Bram. Berkatmu, Adhira bisa menikmati masa perkuliahan meski hanya sebentar."
Apa maksudmu mudah saja untuk melupakanmu? Apa bagimu hubungan kita selama ini tak ada artinya? Kau pikir keberadaanmu selama ini hanyalah urusan sepele dalam hidupku?
"Adhira..."
"Adhira, sayang" ujarku sembari menggenggam tangannya yang kini layu tak berdaya.
"Ayolah, Adhira...Biasanya kau akan memukulku kalau ku panggil begitu."
"Aku tak akan membiarkanmu pergi tanpa mengatakan sepatah katapun padaku."
Aku tak akan pernah melupakan usahamu untuk mengaitkan kelingkingmu di kelingkingku saat itu.
Sungguh genggaman yang lemah, namun itu saja sudah cukup untuk membangkitkan sejuta harapan dalam dadaku.
Saat matamu terbuka dan menatapku dengan tatapan sayu, rasanya duniaku runtuh.
"Bram..." panggilmu kala itu setelah mengambil napas panjang.
Aku tak menjawab. Aku hanya menunduk, berharap kau tak melihat air mataku.
"Bram!"
"Uhuk! Uhuk!"
Mengapa aku harus menunggumu meneriakkan namaku? Bodohnya aku!
"Kau...kularang"
"Ya?"
"...untuk melupakanku." ujarnya sembari mengusahakan sebuah senyuman.
"Mana mungkin aku bisa melupakan maniak kilat sepertimu?"
"Kau juga...tak boleh menangis."
Aku terdiam dan menatapnya dengan tatapan kesal.
"Bukankah kau terlalu egois?"
"Kau pergi tanpa mengatakan apapun, lalu ternyata kau sakit keras dan sekarang kau memintaku untuk tidak menangis?"
"Bagaimana..."
"Bagaimana aku..."
Aku menahan mulutku. Bukan ini yang seharusnya ku katakan. Bukannya menghiburnya, aku malah...
"Kalau kau tahu..."
"Kau pasti akan membuang segalanya demi aku."
"Benar?" tanyanya sembari tersenyum.
"Memangnya kenapa? Setidaknya dengan begitu aku..."
"Bramasetya Adidharma."
Aku tersentak. Aku menatapnya yang tengah mengumpulkan kekuatan untuk kembali berbicara.
"Ada tidaknya aku, waktu akan terus berjalan." ujarnya sembari menatapku dengan tajam.
"Ada tidaknya aku, hidupmu akan terus berjalan."
"Dan waktu...tak pernah berjalan mundur."
"Setidaknya, jalanilah hidupmu dengan baik, demi dirimu."
"Dan kalau tidak bisa demi dirimu...maka demi aku."
"Ka..u uhuk! harus... berjanji."
"Hmm?" ujarmu sembari mengulurkan jari kelingkingmu dengan lemah.
"Aku...aku berjanji."ujarku sembari terisak.
"Aku mau melihat...senyum..mu."
Aku tak ingat bagaimana caraku memaksakan diri untuk tersenyum kala itu. Yang jelas, setelah itu tanganmu terjatuh dan kau pergi. Kali ini, untuk selamanya.
Adhira, kau yang datang saat musim hujan tiba. Kau juga pergi di saat musim hujan berakhir.
"Bram! Buruan masuk! Lagi petir-petiran malah di luar rumah! Ngapain, sih?"
"Hanya menyapa seseorang."ujarku sembari tersenyum
Aku memandang ke arah langit yang gelap dan rintik hujan yang menderu dari balik payungku.
"Kalau kau masih takut kilat, ingat saja kalau kilat itu aku!" ujar Adhira sembari tersenyum lebar.
"Mana bisa begitu."
"Bisa, dong! Adhira itu artinya kilat! Karena aku itu kilat, aku tak mungkin menyambarmu!"
"Lalu, anggap saja guruh itu tawaku!"
"Jangan seenaknya begitu, dong."
"Loh, ini kan salah satu usahaku untuk menghilangkan ketakutanmu! Hargai, dong!"
Adhira Wijayakusuma, kilatku, cahayaku. Ku harap kau tetap datang dalam wujud kilat-kilat yang menemaniku di hari hujan. Karna kilat kini akan mengingatkanku akan sosokmu dan guruh akan mengingatkanku akan tawamu.