Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Saat itu kami duduk di dermaga ditemani semilir angin yang membawa aroma asin laut. "Abang tahu, laut itu misteri, seperti hati kita yang sulit diduga." kata Miriam, tunanganku.
Aku berusaha memahaminya tapi sulit. Sesulit aku bisa menerima laut itu kembali setelah kehilangan yang menyakitkan.
Hari itu, kami menonton Voyage to the Bottom of the Sea di bioskop tua di ujung kota. Film petualangan kapal selam menuju dasar laut, bertemu makhluk laut aneh, dan melawan bahaya.
Tapi bukannya film itu yang membekas di pikiranku, tapi ketakutan-ketakutan seperti awan comulunimbus hitam yang menyelumbung langit sebelum hujan deras tiba.
"Sayang, menurutmu kalau aku bisa bernapas di bawah air, apa yang akan terjadi?" tanyaku sambil menatap riak air yang memantulkan warna jingga matahari senja.
Miriam tersenyum, matanya berbinar.
“Kenapa?”
“Aku hanya ingin menanyakan itu, tapi aku ngak tau kenapa?” jawabku sekenanya.
Miriam tertawa, “Aneh!”.
“Tapi itu yang sedang aku pikirkan sekarang.”
"Kalau abang bisa bernapas di bawah air, mungkin abang akan melihat dunia yang berbeda. Ada kerajaan ikan, harta karun kapal tenggelam, atau mungkin putri duyung. Itukan, yang sering abang baca di buku-buku dongeng dulu?" katanya sambil tertawa.
Aku mengangguk pelan. "Tapi aku juga takut, laut itu seperti raksasa yang pendiam. Tsunami dulu..." Kalimatku menggantung, tenggelam dalam bayangan bencana besar yang pernah merenggut adikku dan kedua orang tuaku.
Miriam langsung memelukku. "Laut memang susah dimengerti. Tapi abang tahu, kita tidak akan bisa berdamai dengan sesuatu yang kita hindari. Kadang, kita harus mendekat untuk memahami."
***
Malamnya aku bermimpi. Aku berdiri di tepi pantai, dan tiba-tiba seorang bocah lelaki muncul dari dalam air. Wajahnya cerah, rambutnya hitam berkilau seperti sirip ikan.
"Kau siapa?" tanyaku.
"Aku Deni, manusia ikan. Kau mau ikut denganku ke dasar laut?"
Aku tak mengenalnya jadi merasa ragu, tapi rasa penasaran mengalahkan semuanya. Deni menggenggam tanganku, dan aku merasa tubuhku berubah. Aku bisa bernapas di bawah air!.
Kami menyelam semakin dalam, melewati terumbu karang berwarna-warni, kawanan ikan yang menari seperti balet, sampai akhirnya tiba di sebuah gerbang besar yang bersinar biru kehijauan.
"Selamat datang di Kerajaan Bawah Laut," kata Deni sambil menunjuk ke arah gerbang itu.
Di balik gerbang, aku melihat istana megah terbuat dari karang putih dan mutiara. Makhluk laut beraneka rupa berlalu-lalang, beberapa membawa lentera yang terbuat dari ubur-ubur bercahaya.
"Apa ini Atlantis?" tanyaku dengan kagum.
"Bukan. Ini tempat segala impian tentang laut menjadi nyata."
Aku membayangkan banyak hal, tapi semua berujung pada ketakutan-ketakutan yang sulit aku pahami.
"Apa kau tidak takut tinggal di sini?"
"Tidak," jawabnya singkat. "Laut adalah rumahku. Tapi aku melihat ada sesuatu di hatimu yang takut akan laut. Kenapa?"
Aku terdiam. Aku ingin menceritakan segalanya—tentang tsunami, kehilangan keluargaku, dan betapa laut terasa seperti monster yang selalu mengintai. Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku.
"Ikut aku," ajaknya. "Ada sesuatu yang harus kau lihat."
Kami tiba di sebuah gua di dasar laut, dindingnya dipenuhi kristal bercahaya. Di tengah gua itu, aku melihat sebuah bola air besar, memutar kenangan seperti film.
"Apa itu?" tanyaku.
"Laut Kenangan. Ia menyimpan apa yang telah diambil laut darimu."
Aku tiba-tiba merasa takut, ragu, mencoba mendekat. Bola itu menunjukkan gambaran adikku yang bermain di tepi pantai, tertawa riang sambil membangun istana pasir.
Lalu, aku melihat diriku sendiri, menggandeng tangan ibu dan ayah, berjalan di bawah sinar matahari pagi. Tapi gambaran itu berubah menjadi gelombang besar yang menghantam segalanya.
Air mataku tiba-tiba bercampur dengan air laut.
Deni menatapku. "Laut tidak hanya mengambil. Kadang, juga memberi."
"Apa maksudmu?", Aku menatapnya bingung.
Deni menyentuh bola air itu, kali ini, aku melihat wajah cantik Miriam disana. Ia tersenyum ketika memandangku. Miriam menjadi tempatku bersandar setelah kehilangan segalanya.
"Laut mengambil keluargamu, tapi juga memberimu seseorang untuk menjaga hatimu.”
Aku tak mengerti tapi hatiku tiba-tiba terasa hangat. Tiba-tiba aku teringat Miriam.
***
Aku terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Aku melihat Miriam masih duduk di dermaga, disampingku sambil menatap laut dengan pandangan yang sama seperti sebelumnya.
"Sayang" panggilku sambil mendekat.
"Aku ingin mengerti tentang laut."
Miriam menatapku dengan pandangan tak percaya, lalu tertawa. "Baguslah. Laut itu seperti hidup kita, memang penuh misteri. Tapi kalau abang mau mencoba memahaminya, abang akan temukan rahasia disebaliknya, mungkin itu bisa mengobati ketakutanmu."
Laut mungkin tak akan pernah bisa kutaklukkan, tapi setidaknya, aku ingin belajar mencintainya.