Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dukun yang konon sakti mandraguna, tersohor ke seluruh penjuru kampung, bahkan jika kamu bertanya kepada seekor musang di mana rumah Mbah Wawuk pasti dia akan menunjukannya—tentu artinya ini bukan dia sakti, tapi bisa jadi karena dia peranakan musang jamet.
Desas-desus itu membuat Koro seorang pengusaha tambal ban dari desa sebelah yang mengeluh omsetnya menurun seminggu terakhir mendatangi Mbah Wawuk.
Rumah Mbah Wawuk yang ada di dataran tinggi dan harus keluar masuk hutan, lalu lima ratus meter di belakangnya adalah jurang. Membuat orang yang datang ke tempatnya sudah pasti tidak main-main.
Maka dengan tekad bulat Koro beserta istri akhirnya sowan ke kediaman Mbah Wawuk. Rumahnya gubuk, berdinding anyaman bambu. Hanya saja di ujung bambu itu ada meteran listrik.
Koro mengetuk pintu.
“Masuk!” teriak suara sengau dari dalam gubuk itu.
Begitu sudah sampai di dalam, Koro dan istrinya dibuat terhenyak dengan dekorasi dindingnya yang dilapisi kain tebal lalu dihiasi lampu warna-warni—merah, kuning, hijau, ada diffuser. Setelan pakaian oversize yang digunakan Mbah Wawuk, dilengkapi rantai emas dan headphone dengan bulatan yang memendarkan lampu warna-warni di lehernya, tak lupa jenggot panjang putihnya yang dikepang dua, cukup membuat Koro kehabisan kata.
“Kamu berdua adalah orang ke-64680 yang terkejut melihat dalaman gubuk dan penampilan saya. Kamu kira dukun ini hanya seperti di film Suzana? Kuno! Kau lihat tidak ada dupa atau kemenyan, hanya ada diffuser lavender. He...he...he.”
Rusak sudah citra Mbah Wawuk di kepala Koro. Alih-alih dukun dengan citra seram, malah lebih mirip gamers sepuh.
“Duduk!” pinta Mbah Wawuk kepada Koro dan istrinya. “Ceritakan masalahmu.”
Koro bercerita mengenai masalah usaha tambal ban yang ia miliki selalu sepi, sementara dukun kekinian itu sedang menghisap pods dengan rasa lemon grape, sesekali mengangguk mendengarkan cerita Koro.
Mbah Wawuk lalu membalikkan arah laptopnya ke Koro, menyuruh Koro untuk mencari di Google Street View dimana posisi tambal ban miliknya.
Sembari Koro mencari letak posisi bengkelnya, Mbah Wawuk berkata, “Oke Google, mainkan instrumen musik jazz untuk relaksasi.” Kemudian kepala Mbah Wawuk ikut mengalun lembut seiring melodi Saxophone Alto mengalun.
Koro membalik laptopnya, “Sudah, Mbah.”
Mbah Wawuk mengamati sekilas gambar-gambar yang ditampilan di layar, lalu kemudian berujar, “Ini berat sih. Baureksa kawasan situ kelas atas semua. Kamu gak akan bisa menang, kecuali kamu siap menuruti syarat dari saya.”
Koro memajukan badannya, menatap Mbah Wawuk dengan antusias.
—
“Aku berikan pilihan. Pertama; biji testis kamu, dan pentil payudara istrimu dijepit selama sehari semalam. Kedua; kamu dan istrimu harus nahan berak sehari semalam. Silakan dipilih.”
Koro dan istrinya saling melempar tatapan heran. “Itu beneran syaratnya?”
Mbah Wawuk mengangguk tegas.
“Tapi itu hanya berak saja, kan? Kalau kencing dan kentut masih tidak apa-apa?” Istri Koro kali ini yang bertanya.
“Kecuali kamu kentut dan keluar ampasnya,” jawab Mbah Wawuk.
Koro dan istri saling tatap lagi. Lalu engan menghela napas panjang, Koro akhirnya menyetujui syarat dari Mbah Wawuk. Lalu Mbah Wawuk menghilang sebentar ke belakang, dan balik lagi dengan membawa sebaskom pasir dan sebuah bungkusan kain merah.
“Pertama, letakkan telapak tangan kamu dan istrimu ke baskom pasir ini!” pinta Mbah Wawuk.
Pasutri itu meletakkan telapak tangannya di baskom pasir, sementara Mbah Wawuk sibuk berkomat-kamit.
“Baik, sekarang kalian ambil segenggam pasir, lalu usapkan di sekitar leher, biarkan setengah badan kalian agak kotor sedikit karena pasir suci ini.”
Lagi-lagi pasutri ini mengikuti titah Mbah Wawuk.
Setelah keduanya selesai membaluri leher dengan pasir, Mbah Wawuk membuka bungkusan kain merah itu.
“Ini adalah paku dan kawat emas. Sebarkan ini selama tiga kali. Pertama, saat menjelang tengah malam ini, kedua, saat besok menjelang kamu buka bengkel, ketiga, saat matahari baru terbit, sebelum kamu berak setelah sehari semalam menahan berak. Oh iya, kamu menaburkan benda ini dnegan cara memakai semua baju dengan terbalik.”
“Baik, Mbah.” Koro mengangguk.
Mbah Wawuk lalu mengetik sesuatu di laptopnya.
“Pindai Qris ini dengan nominal dua juta lima ratus ya. Jika selama sehari semalam tidak ada efeknya, silakan balik lagi. Bergaransi, gratis dengan syarat dan ketentuan.” Mbah Wawuk mencoba tersenyum sambil menelungkupkan tangan di dada ala customer service bank swasta.
***
Malam setelah kunjungan dengan Mbah Wawuk, sang istri kaget ketika mendapati Koro tengah nungging di atas kasur sambil meringis dan memegangi perutnya.
“Sayang, tolong belikan obat penahan mules. Pasti ini gara-gara sambel jengkol dan mie nyemek level 13 itu!”
Napas Koro mulai tak beraturan seiring perih di perutnya kian menjadi. “Duh gini amat mau kaya malah makan pedes!”
Istri Koro kembali dan membawakan daun jambu biji. “Ayo duduk, sayang. Ini kamu kunyah lalu minum air hangat ini.”
“Kamu kira aku kambing!? Makan daun-daunan gitu. Gak mau!” gertak Koro sambil mengaduh kesakitan.
“Badung amat punya suami. Udah sini!”
Sang istri mengambil wajah Koro lalu membuka mulutnya dengan paksa, dan dengan gerakan kilat memasukan daun jambu biji itu ke mulut Koro, lalu menyuruhnya untuk mengunyah, lalu sang istri menuangkan air hangat ke mulutnya, dan Koro sedikit terbatuk karena belum pernah makan daun jambu biji tanpa ada campuran apapun. Koro sudah pasrah, karena semakin dia lawan, ampas yang sudah merangsek usus besarnya semakin berontak ingin keluar.
Meskipun sudah minum daun jambu biji, keringat dingin di badan Koro tidak hilang, giginya bergemeretak menahan sesuatu, wajahnya mulai biru. Suara pun tidak keluar lagi dari mulutnya.
Koro segera lari ke kamar mandi, dan kekuatan setara tembakan rudal Korea Utara tersebut terdengar menembus ventilasi kamar mandi.
“AKU GAGAL!” Koro berteriak histeris.
“Memang cemen kamu! Tau gitu mending biji peler kamu yang dijepit pake tang sekalian.” ujar istri Koro yang terkekeh dari arah dapur yang sedang memasak Mi Samyang Buldak level lima.(*)