Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Arya hari ini janjian ketemu dengan teman-teman lamanya, lebih tepatnya kalau kalian menyebutnya reunian. Tapi jelas ini bukan sembarang reuni, ini ajang judgment—penghakiman (menurut Arya). Lha kok bisa?, memangnya separah apa sih masalahnya?.
Arya tiba di sebuah kafe setelah menerima undangan reuni itu. Disana ada Raka, Dian, Seno, dan Nina. Setelah obrolan basa-basi, Arya akhirnya berbicara langsung kepada mereka semua dengan nada yang sedikit tak percaya.
Mereka semua ternyata masih seperti yang dulu!, seperti lagu lawasnya Pance Pondag.
Arya berdiri, dan sambil senyum sinis, memiringkan bibirnya bilang begini ke Raka. “Jadi, gue cuma mau mastiin aja, bener nih elo semua, memang sahabatku?”
Raka yang disasar paling depan malah tertawa kecil, tetap mencoba santai.
“Lah, apa sih, bro? Santai aja. Lo kenapa ngomong gitu?”.
Sambil melipat tangan Arya bilang lagi begini, “Gue kenapa? Gini ya!, gue denger banyak hal, tapi gue nggak percaya. Makanya gue di sini mau klarifikasi. Mungkin lo bisa jelasin?.”
“Wah, gaya lo kayak polisi aja, bro. Apaan sih, maksud lo?”, ujar Dian yang kaget dengan sikap Arya.
“Gue mulai dari lo, Ka.” Sambil melihat ke arah Raka. “Lo inget nggak waktu SMA, pas gue minjem uang karena gue nggak punya ongkos pulang? Gue inget banget lo bilang nggak ada. Tapi setelah itu gue lihat lo keluarin duit buat traktir orang lain di kantin.”
“Yaelah, itu kan lama banget, Arya temanku. Masa lo masih inget?”, Raka mengangkat bahu dan tertawa tak bisa menahan sikap Arya yang dianggapnya aneh.
“Oh, gitu ya, gue inget banget, karena gue harus jalan kaki 7 kilometer hari itu.”
“Lah, kenapa nggak ngomong ke gue?”, giliran Seno yang tiba-tiba nyeletuk.
“Oh..Oh, Seno ya. Lo yang gue harapin mau bantuin nyari HP gue yang ilang waktu kuliah. Tapi ternyata lo cuma sibuk main game di warnet, ya?”. Ujar Arya berang.
“Gue tau banyak sekarang. Dan lo, Dian. Gue nggak pernah lupa waktu lo cerita ke anak-anak kalau gue nyontek di ujian nasional. Padahal gue nggak pernah sekalipun nyontek.”
”Lah, serius lo? Gue kan cuma bercanda waktu itu.” Ujar Dian pura-pura kaget. "Lagian itu udah lama banget, telat kalau kamu marah sekarang". Canda Dian lagi.
“Bercanda?, gara-gara "bercandaan" lo, gue hampir nggak keterima di universitas pilihan gue. Itu bercanda, ya namanya?”
Nina langsung nimbrung mencoba mencairkan suasana, “Udah-udah, ya ampun, Arya. Lo kok kayaknya dendam banget sih sama kita? .Kita kan udah lama nggak ketemu. Ini reuni, bukan persidangan.”
“Dan lo, Nina. Gue nggak akan pernah lupa waktu lo jadian sama Dimas, karena elo kan pacar gue waktu itu.”
Nina yang ditunjuk hidungnya langsung terperanjat. “Itu... itu kan udah lama banget, Arya. Kita masih abege waktu itu. Gue bahkan nggak inget.”
“Ha..ha...ha, Lo nggak inget, tapi gue inget jelas bagaimana lo dengan santainya cerita ke gue setelah lo jadian sama dia. Gue diem waktu itu, tapi hati gue hancur, Nin.”
“Udah, udah. Semua orang punya kesalahan, kan? Lagian, kita semua di sini udah dewasa. Ngapain masih bahas hal-hal yang udah lewat?” kali ini Raka berusaha mengalihkan pembicaraan.
Sambil mendekatkan tubuhnya ke meja, nada lebih tegas, Arya menaikkan nadanya satu oktaf. “Karena ini bukan soal "udah lewat," Ka. Ini soal lo semua yang gue anggap temen, ternyata cuma kumpulan orang yang cuma peduli sama diri sendiri.”
“Oke, Arya. Kalau lo mau ngata-ngatain kita, kenapa lo masih dateng ke sini?.” Seno terlihat kesal dengan semua situasi yang terjadi.
“Karena gue mau liat. Gue mau tau apakah elo semua sudah berubah. Dan ternyata, iya--masih sama kaya yang dulu-dulu.”
“Yaelah, bro. Kita semua punya cerita sendiri. Lo juga pasti nggak sempurna.” Dian kali ini terpancing amarahnya dan mulai panas.
Mau tak mau Arya harus menyetel nadanya dengan tenang. “Bener, gue nggak sempurna. Tapi setidaknya gue nggak pernah nusuk orang dari belakang. Oh, ngomong-ngomong soal nusuk dari belakang, gue inget waktu gue mulai bisnis pertama gue. Seno, lo yang bilang mau bantu gue cari investor. Tapi akhirnya lo ambil ide gue dan lo eksekusi sendiri, kan?”.
“Itu... itu cuma kebetulan. Gue nggak sengaja, bro.” Sahut Seno dengan wajah memerah menahan marah.
“Nggak sengaja? Lo copy semua proposal gue dan lo presentasiin ke orang lain. Itu lo bilang nggak sengaja?” Nada Arya terdengar sarkastik.
“Arya, lo harus belajar move on.” Nina mencoba mencairkan suasana.
“Dan lo semua harus belajar jadi manusia yang nggak egois.” Mata Arya melotot tajam menatap Nina.
“Kalau lo nggak suka sama kita, kenapa lo nggak bilang dari dulu?” Raka tak bisa menyembunyikan nada dingin dalam ucapannya.
Mau tak mau Arya tertawa getir, “Karena gue dulu bodoh. Gue pikir, mungkin gue salah paham. Tapi sekarang, gue sadar. Lo semua bukan teman. Lo cuma orang-orang yang ada karena nyaman. Pas gue susah, lo nggak ada. Pas gue seneng, lo tiba-tiba nongol, siap ngambil apa yang lo bisa.”
Dian yang disebelah Raka mencoba bertahan. “Lo ngegeneralize banget, bro. Kita semua punya kekurangan.”
“Kekurangan? Kekurangan lo bilang?, itu kalau lo lupa bawa dompet pas makan bareng. Tapi apa yang lo semua lakuin, itu karakter.”
“Wah, jadi ini ceramah moral nih?” ujar Seno.
Arya langsung berdiri dari kursinya, melihat mereka satu per satu. “Bukan. Ini kejujuran. Karena jujur aja, gue udah nggak percaya sama kalian. Dan mungkin, nggak akan pernah lagi.”
Arya langsung mengambil tasnya dan berjalan keluar kafe, meninggalkan mereka semua dalam kebisuan. Mereka saling menatap, ada yang terlihat malu, ada yang hanya mengangkat bahu, ada yang tetap dengan ekspresi defensif.
“Jadi... dia serius?”, Nina tiba-tiba bingung melihat Arya kabur dari hadapan mereka.
“Kayaknya, sih iya.” Ujar Raka lirih, nyaris tak terdengar.
"Whatever it is, I don't care!." ujar Arya tertawa terbahak, bersamaan dengan itu, dua orang berseragam putih-putih masuk menariknya.
"Maaf, pasien ini kabur dari RSJ", ujarnya sambil menarik Arya yang sedang terpingkal-ppingkal sendiri.