Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sambil memacu motornya ke kos-kosan, Widya sempat memikirkan tentang Tony, mahasiswa S2 yang kebetulan satu kampus dengannya. Widya sangat menyukai Tony, karena anak itu pintar dan berbakat dalam bidang matematika. Biasanya pada jam istirahat, Widya mengirim surat kepada Tony. Setelah berulang kali minta dijadikan teman, akhirnya Tony setuju Widya menjadi temannya.
Malam sudah semakin larut. Widya sudah mulai mengantuk, namun dia berusaha agar tetap fokus pada jalan raya. Jarak kampus dengan kos-kosannya sangat jauh, membuatnya harus pulang-pergi menaiki motor pinjaman dari Riska, temannya yang satu kampus dan satu kosan dengannya.
Tiba-tiba, mata Widya menatap ke arah sebuah warung bakso kecil. Teringat dengan perutnya yang lapar, Widya buru-buru pergi ke warung tersebut.
“Mas, pesan bakso semangkuk, ya. Tidak usah pakai sambal,” ucap Widya kepada penjual warung itu.
“Siap, Mbak,” jawab si penjual.
Sambil menunggu, Widya bermain Instagram di ponselnya. Dia juga memutar musik di Spotify. Suaranya agak keras sehingga membuat si penjual bakso terganggu.
“Mbak, kalau di sini jangan membunyikan musik. Kalau mau, pakai headset saja,” tegur si penjual.
“Oh, maaf, Mas,” buru-buru Widya mematikan lagunya.
Setelah pesanan Widya tiba, anak itu buru-buru memakan baksonya. Sementara si penjual duduk di depan Widya, sambil menatapnya.
“Nama Mbak siapa? Perkenalkan saya Tony, mahasiswa di Kampus Mawarsari,” kata si penjual.
Tony? Nama itu terngiang di telinga Widya. Dia berhenti menyantap baksonya. Tak menyangka yang duduk di hadapannya adalah teman sekaligus lelaki yang selama ini ditaksirnya.
“T-Tony? Kamu… kuliah di jurusan apa?” tanya Widya.
“Aku kuliah di Jurusan Matematika. Kenapa memangnya?”
“Loh, Tony… ini aku, Widya. Anak yang selama ini menulis surat kepadamu di kampus!” seru Widya kegirangan.
Tony terkejut.
“Oh, kamu ternyata, Widya! Kok, bisa ada di sini? Baru pulang, ya?”
“Iya, Ton. Aku mampir ke sini, soalnya aku lapar. Aku senang kita bisa bertemu di sini!”
Mereka bercakap-cakap cukup lama, sampai akhirnya Widya menghabiskan baksonya. Kemudian dia membayar pesanan baksonya ke Tony.
“Nih, kembaliannya,” ucap Tony sambil menyerahkan uang kembalian pada Widya.
Widya tersenyum lembut. Dia pun pulang dengan menaiki motornya. Sampai di kos-kosan, dia merebahkan tubuhnya ke ranjang.
“Oh, iya, besok waktunya bayar uang kos bulanan!” gumamnya sembari mencari dompetnya.
Dia pun menghitung uangnya. Tanpa sengaja, Widya menemukan sebuah kertas putih kecil terselip di antara uang-uangnya.
“Loh, kertas apa ini?” pikirnya seraya mengeluarkan kertas itu. Dia membuka lipatannya, lalu membaca isinya.
Sebetulnya aku menyukai dirinya, tetapi aku berusaha menahan perasaan itu karena malu terhadap teman-temanku.
-Tony-
“Wah, Tony pasti tak sengaja mengeluarkan ini begitu memberi kembalian kepadaku!” katanya. “Besok aku akan mengembalikannya. Siapa tahu dia mencari kertas ini!”
Besoknya, di kampus, Widya menyerahkan kertas itu pada Tony.
“Ah, ya, ini memang kertasku!” ucap Tony. “Tapi bagaimana bisa ada di dompetmu? Aku sama sekali tidak mengeluarkannya.”
“Mungkin terselip di antara uang kembalian yang kamu berikan, sehingga terbawa olehku,” duga Widya.
“Tidak, tidak mungkin!” ujar Tony. “Kertas ini kusembunyikan di kantong kecil pada dompetku. Aku sempat memeriksa dompetku lagi tadi pagi, dan kertas masih ada pada tempatnya!”
Widya menelan ludah. Siapakah yang meletakkan kertas tersebut di dompetnya?