Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
*****
Aku kembali mendapatinya termenung, ada kekosongan dalam binar indahnya. Selama hampir lima tahun belakangan -sejak aku mengerti kesedihan untuk pertama kalinya- tak ada secercah kebahagiaan yang tergambar dari sorot hazelnya. Lima belas tahun adalah usia yang terbilang belia saat kau dipaksa untuk mengetahui bahwa kehidupan yang kaulakoni merupakan sebuah topeng. Aku melihatnya menangis di balik tawanya, aku mengetahui kerapuhan yang ia sembunyikan di balik paras anggunnya, untuk pertama kali. Hal itu menyadarkanku bahwa selama lima belas tahun sejak aku dilahirkan, ia telah berpura-pura bahagia, demi aku. Bahwa kehidupan pernikahan yang mereka jalani bukan sebuah kisah bahagia, melainkan ketulusan yang dipaksakan. Ia telah mencintai hanya untuk disakiti dan ia bertahan dalam lukanya demi kesempurnaan kehidupan remajaku.
"Kau hanya akan berdiri di situ, sayang? Mama lapar~" ucapnya manja.
Aku mengusap setitik airmata di ujung pelupuk dan berusaha tersenyum. Langkah kecilku menuntunku untuk menghampiri sosok tersebut, seorang malaikat dalam balutan pedih. Kutarik sebuah kursi, kuletakan tepat di samping sofa single yang ia duduki. Sebuah nampan kayu yang sedari tadi kubawa pun telah tertata manis dalam pangkuan. Kubuka tudung saji alumunium, dan semerbak harum daging sapi berempah berlomba-lomba memenuhi rongga hidung. Pagi ini, Mama menginginkan nasi rendang dengan daun ketela rebus dan sambal lombok ijo. Dengan cekatan, aku mulai melaksanakan rutinitas pagiku belakangan ini; menyuapi Mama. Aku cukup menikmatinya. Ini bisa semakin mendekatkan kami. Sepasang ibu dan anak yang selalu terpisahkan oleh rutinitas. Setidaknya, inilah satu-satunya kebaikan yang mendatangi kami pasca chaos yang terjadi tiga bulan silam. Perceraian.
Mama menikah karena perjodohan bisnis. Ia sebenarnya mencintai lelaki itu; orang yang tak akan sudi kupanggil Papa lagi, semenjak Mama berada di bangku kuliah. Mereka merupakan teman satu angkatan di universitas bisnis di Cambridge. Perasaan Mama membuncah bahagia ketika keluarga Waringin datang membawa sebuah lamaran. Mereka menikah dengan malam pertama yang tak terlupakan. Bagi Mama itu akan menjadi memori bahagia -sebelum kenyataan pahit terungkap- akan tetapi bagi pria laknat itu, malam pertama haruslah dilupakan dengan minuman keras. Surya Waringin menggauli Mama dalam keadaan mabuk yang disengaja.
Di keesokan paginya, vonis dari mulut Surya menyadarkan Mama. "Aku tidak mencintaimu! Aku sudah punya kekasih saat mereka memaksaku untuk menikahimu, jadi mari kita jalani saja kepura-puraan ini. Tersenyum saat mereka ada, lalu jalani kehidupan masing-masing ketika mereka pergi!"
Tapi Mama adalah orang yang keras kepala, apalagi dokter telah mendiagnosa kehamilannya. Hal ini ia jadikan senjata untuk membuat Surya lebih sering bersamanya ketimbang bersama si wanita pujaan. Miris memang, saat kau mengira kaulah sang istri sah tapi ternyata kau adalah sang pihak ketiga. Duri dalam hubungan sepasang kekasih.
Surya Waringin sebenarnya merupakan sosok penyayang dan pelindung. Ia sangat memperdulikan kebutuhanku. Waktu dan perhatian tercurah lebih untukku. Masa-masa itu adalah masa penuh keceriaan. Ia sering membawaku keluar negeri dalam perjalanan bisnisnya, bersama tante sekretaris baik yang ternyata merupakan kekasihnya. Kupikir mereka selingkuh, saat kupergoki mereka bersenggama dalam salah satu rangkaian perjalanan kami. Tapi, kenyataan memukulku begitu hebat. Mereka telah menikah lima tahun sebelum Surya melamar Mama. Bahkan, pernikahan mereka tercatat baik secara agama maupun negara. Keluarga Waringin benar-benar melakukan tipu daya terhadap keluarga Mulia.
"Kelam sudah melahirkan. Mereka memberinya nama Fajar. Kau mempunyai adik tiri, sayang."
Tanganku berhenti menyuap. Tertegun oleh kenyataan yang hampir kuabaikan. Haruskah aku bahagia? Mereka telah menantikan momongan selama dua puluh lima tahun. Inilah alasan keluarga Waringin menyodorkan perjodohan kepada pihak keluarga Mulia. Sebuah garis keturunan. Apalagi, Kelam Ariani Priambudi merestui pernikahan tersebut.
Mama melihatku terdiam, ia pun mengambil sendiri sendok berisi nasi dan irisan rendang yang masih tertahan di udara. "Besok, tengoklah adikmu, Mentari," ucapnya sebelum memasukan satu suap ke dalam mulut.
"Tidak!" Tegasku.
Mama mengunyah pelan, ia mengambil minum setelahnya sebelum kembali berucap, "Sebenarnya, Mama rela dijadikan istri kedua oleh Papamu, tapi cinta mereka begitu kuat."
Kali ini aku yang melihatnya terdiam. Dadanya mulai bergetar dan kedua pipinya mulai dialiri airmata. Aku menyingkirkan nampan di pangkuan ke atas meja nakas. Kutarik tubuh ringkih Mama, memeluknya erat. "Tidakkah cukup aku saja yang berada dalam hidupmu, Mama?"
Senja Mulia pun menangis tersedu di pelukanku. Menangisi sang Surya yang meninggalkan dirinya. Cintanya begitu tulus dan indah seperti warna orange kemerahan di waktu senja ketika sang surya begitu kejam kembali ke peraduan pekatnya kelam.
****