Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tahu seharusnya tidak kulakukan. Tapi sekarang dia mulai berubah. Seharusnya tidak kuragukan cintanya, tapi perasaanku tidak bisa aku bohongi kalau sedikit luka sempat tercipta saat dia lebih memilih menunggu di bangku taman itu daripada menemaniku belanja. Aku tidak bisa memaksanya. Memang rata-rata belanjaku memakan cukup banyak waktu, untuk hal itu aku bisa mengerti. Proposal yang dia gunakan pun cukup masuk akal.
"Daripada aku memberi masukan yang malah membuatmu ragu memutuskan. Bukankah lebih efisien aku tidak menemanimu belanja? Kamu memilih yang mau kamu beli, maka kamu sendiri yang bertanggungjawab terhadap pilihanmu. Lagipula, aku bisa review kerjaanku sambil nunggu kamu, jadi di rumah tinggal istirahat. Bercengkrama sama kamu, pijitin pundak kamu. Ya, `kan?"
Bagaimana aku bisa menolak itu?
Namun tetap perasaan cemas itu ada, karenanya aku selesaikan belanjaku secepatnya dan kembali ke taman untuk mengintip.
Aku melihatnya masih duduk di bangku taman. Dari sudut pandangku, aku hanya bisa melihat punggungnya bersandar ke bangku taman, sebelah tangan terentang dan bertelekan pada sandaran bangku taman seolah menaungi barang belanja yang sempat aku beli sebelum dia ke taman. Aku tidak bisa melihat tangan yang sebelahnya lagi, tapi sepertinya memegang ponsel. Dia bergeming dan hanya sempat bergerak saat seorang pelari melewatinya. Dia sempat memerhatikan pelari itu. Hanya sebentar.
Apa dia tertarik padanya?
Sempat aku berpikir seperti itu. Bagaimanapun pelari itu seorang perempuan muda, berkerudung pink dengan pakaian olahraga kombinasi putih-biru. Meski dari kejauhan, aku tahu dia cantik. Rasanya sakit juga membayangkan kalau pelari itu yang menjadi alasan dia lebih memilih menunggu di taman ini.
Tapi aku keliru. Dia sepertinya tidak memperhatikan perempuan itu, karena dia berpaling ke arah jalan saat perempuan itu telah lewat. Sepertinya dia menantikan aku datang.
Ah, sudahlah!
Aku sudahi kecemburuan ini dan menghampirinya.
Saat aku hampiri, dia tengah tersenyum-senyum sendiri.
"Kenapa senyam-senyum gitu?" tanyaku.
"Bukan apa-apa," jawabnya meski sempat sudut matanya tertuju pada perempuan pelari itu.
Aku lihat perempuan itu kini tidak lagi sendiri, ada seorang lelaki menemani.
"Jadi teringat kita dulu, ya?" ucapku, memancing reaksi suamiku.
"Hmmm, enggak tuh,” jawabnya datar.
“Apaan sih!” responku sambil mencubit pipinya.
“Au! Sudah beres belanjanya?”
“Yup, sudah.”
Dia berdiri dan membawakan seluruh belanjaanku. Lalu ketika kami berjalan, aku merangkul tangannya.
Saat menapaki jalur taman ke arah jalan raya, aku sempat perhatikan sunset di seberang jalan. Lalu aku melirik suamiku dan dia juga memperhatikan sunset.
Sempat hendak berkata, "Indah, ya?" namun terurung oleh seseorang yang berlari mendahului kami. Perempuan pelari tadi.
Entah hanya perasaanku, tapi aku lihat perempuan itu melirik kami. Hanya sekilas, tapi sekilas itu cukup membuatku bisa beranggapan kalau dia itu sangatlah cantik. Lalu aku lirik suamiku dan aku yakin dia juga memerhatikannya, meski juga hanya sekilas.
"Dia cantik, ya?" tanyaku.
"Ya, tentu," jawab suamiku, datar dan tanpa tendensi emosi yang berarti.
"Cantik mana sama aku?"
Dia terdiam, tidak segera menjawab. Karenanya aku cubit pipi dia cukup kencang.
Dia mengaduh.
"Kok mikirnya lama sih?!" rajukku.
"Coba sekarang aku balik tanya, apa itu cantik?"
Tentu aku terkejut. Dan heran.
"Ada apa dengan kamu sore ini?" tanyaku, terdengar khawatir.
"Kamu setuju, tidak? Kalau cantik, indah atau semacamnya adalah atribut yang diterapkan ke sesuatu di luar diri kita, namun sangat diharapkan ada pada diri kita. Sementara jelek, buruk, jahat dan semacamnya ada di luar diri dan sangat ditolak ada dalam diri kita--jika pun ada malah kita membutakan diri terhadapnya," sambung suamiku, tidak mengindahkan kekhawatiranku.
"Kamu mengalami Kegelisahan Filosofis, atau apa?" tanyaku sambil mengguncang lengannya.
"Coba sekarang jawab ini! Apa laki-laki hanya puas bercinta dengan satu perempuan saja?" sambungnya yang seketika membuatku terhenyak.
Aku terhenyak dan melepas tangannya. Aku berhenti berjalan.
"Apa maksudmu?"
Ada amarah yang menggelembung di dadaku.
"Sekarang kamu baru memerhatikan aku? Setelah aku mengatakan sesuatu yang mengusik kesadaranmu? Laki-laki memang tidak puas dengan satu perempuan saja, tapi apa bisa dibenarkan? Adanya hasrat dan pembenaran atas hasrat itu jelas hal yang berbeda, bukan?"
Suamiku juga berhenti berjalan dan berpaling menghadapiku. Dia teruskan presentasi pemikirannya dengan suara datar, dingin dan serius.
"Lalu kamu memintaku membandingkan keindahan sesuatu dengan keindahan yang lain sementara aku sudah memilihmu menjadi istriku? Itu tidak adil, bukan?"
Aku terpana. Aku baru menyadari akan kekeliruanku. Tapi ... rasanya sulit aku mengakuinya.
"Aku cuma tanya! Salah gitu?" sangkalku.
"Aku juga cuma mengutarakan apa yang aku pikirkan," balasnya sambil berpaling dan kembali berjalan menuju jalan raya.
Aku mengejarnya dan mengimbangi langkahnya.
"Aku hanya teringat ...," ujarnya kala aku berada di sampingnya. Tapi mendadak tampak ragu.
"Ingat apa?"
"Waktu kecil Ibu suka mewanti-wanti buat berdoa sewaktu bercermin. 'Wahai Tuhan yang mengindahkan rupaku, maka indakan pula akhlakku.' Jadi pada dasarnya semua yang diciptakan Tuhan itu indah, `kan? Dan akhlak, sikap, karakter atau semacamnya adalah elemen yang bisa membedakannya. Memancing kita supaya lebih memerhatikan atribut yang ada di dalam diri kita, karena yang ada di luar kita, cuma Tuhan yang berhak."
Aku tercenung. Baru mengerti apa yang suamiku pikirkan. Pertanyaan, "Cantik mana sama aku?" seperti remeh dan tanpa cela, namun sepertinya sangat berarti buat suamiku.
Dan dia memilihku sebagai istrinya ....
"Aku sayang kamu, kamu tahu itu?" ucapku sambil kembali menggamit tangannya.
"Aku juga, Indah. Aku juga sayang kamu."