Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Romantis
Sejatinya Indah
1
Suka
3,957
Dibaca

Apakah acak? Aku tidak ingat kapan pertama kali aku melihatnya, tetapi aku tahu dia suka membawa barang belanjaan yang cukup banyak. Apa setiap Jumat sore? Sepertinya lebih cepat dari sepekan. Aku sungguh tidak ingat. Aku juga tidak ingat kapan aku mulai menyadari kehadirannya. Untuk sore ini pun aku mrnyadari kehadirannya saat aku lewati bangku taman yang di dudukinya. Aku tidak tahu kapan dia datang; sebelun atau sesudah aku tapaki jalur lari taman ini.

Dia selalu duduk di samping barang belanjaannya di bangku taman dengan dasi yanh dilonggarkan, sambil mengeluarkan ponsel. Ada aura kedewasaan yang aku kagumi dari sosoknya. 

Aku sendiri sedang jogging rutin sore hari di taman kota. Awalnya hanya tiga hari di akhir pekan, tapi sepertinya sore ini aku berniat untuk lari rutin tiap sore, kalau Tuhan mengizinkan. Mungkin dengan jogging setiap sore, aku bisa membaca pola kunjungannya ke taman ini.

Aku menyukainya?

Tentu saja aku suka! Aku yakin semua perempuan suka dengan pria tampan yang mapan dan stabil, baik mental maupun finansial. Setidaknya apa yang terlihat, sih. Tentu aku tidak tahu sejatinya dia seperti apa. Kenyataan mungkin tidak seindah penampakan.

Hanya saja, jika berbicara momen, kenyataan yang ada hanya aku sedang menikmati momen ini. Telah tiga kali aku melewatinya dan ada momen sudut mataku menangkap lirikannya.

Apa dia melirikku? Apa dia memperhatikan aku? Apa dia ... tertarik padaku?

Pikiran itu seperti memabukkan namun juga mengecap rasa pahit akan kepastian kalau senja akan berakhir dan aku atau dia yang lebih dahulu meninggalkan taman ini. Mungkin ... itulah sejatinya sesuatu yang indah. Ya, `kan? Terkurung momen.

Ketika aku melewatinya, ada hasrat hati mempercepat ayunan kakiku untuk segera ke setengah putaran di mana arah lariku membelok dan aku bisa memperhatikannya lagi.

Kakinya bersilang, tangan kanannya memegang ponsel dengan bertumpu di lutut, sementara tangan kirinya terentang bertelekan pada punggung besi bangku taman. Sepertinya sedang membaca sesuatu, karena gerak jarinya tidak sekentara scrolling atau chatting. Dia tampak tenang, cenderung dingin malah. Memang membuat penasaran apa yang sedang dipikirkannya.

Apa soal pekerjaan? Apa soal rencana akhir pekan? Bersama kekasihnya? Atau istrinya?

Ya, memang sempat terpikir dia telah beristri. Melihat barang belajaannya sangat kentara akan kemungkinan itu. Sangat tipis peluang dia belum beristri. Tipis sekali. Meski tetap ada kemungkinan aku keliru.

Bisa jadi belanjaan itu milik teman kerjanya, `kan? Bisa jadi penganan untuk pesta akhir pekan di kantornya. Mungkin ....

Batinku memang mengira-ngira, tapi sekaligus juga membodohi diri sendiri.

Sempat dadaku terasa sesak saat aku lihat dia berpaling dari ponselnya untuk melihat ujung taman dan keramaian jalan. Juga matahari yang kian turun menuju terbenam di cakrawala seberang jalan. Sepertinya dia memang menunggu seseorang.

Pacar? Istri? Seseorang yang dicintainya?

Ada rasa manis dan pahit berkelindan dalam dada yang memang mengganggu alur napasku dan laju ayuanan kakiku. Namun, rasa malu kalau dia mengetahui aku memperhatikannya memberiku alasan untuk menjaga ayunanku tetap konstan. Saat melewatinya lagi, aku coba fokus pada jalur taman. Hanya saja ….

Saat aku lewat di depannya, dia masih memperhatikan ujung taman. Sempat aku menangkap berkas pantulan cahaya senja di telaga netra yang tampak tenang namun sekaligus berbinar seperti … seperti sedang memaknai keindahan sunset. Dia tersenyum.

Aku ingin berhenti dan menatapnya, merekam citranya meski dalam imajinasi, tapi … tapi aku tidak bisa. Aku terus berlari, mengabaikan keindahan itu. Ternyata aku pengecut, ya?

Pengecut?

Kata itu sepertinya menyulut sesuatu dalam batinku. Penyangkalan. Bantahan kalau aku bukan pengecut. Sanggahan yang ingin terejawantah pada tindakan.

Tapi apa? Apa yang akan kita lakukan?

Lalu terpikir kalau aku bisa berhenti persis di depannya dan jongkok, berpura-pura mengencangkan sepatuku.

Ya, itu bisa ….

Lalu, khayal itu berkembang. Setelah berpura-pura mengencangkan sepatu, mungkin aku bisa berpura-pura kakiku kram, lalu tertatih-tatih menghampirinya dan duduk di sampingnya. Tentu saja aku akan minta izin terlebih dahulu! Dan tentu dia akan mengizinkanku, bahkan mungkin dia akan membantuku meregangkan kakiku yang kram ….

Ya …, itu bisa ….

Ada debar mengiringi khayal itu. Debar yang membulat menjadi tekad. Hanya saja tekad itu segera pupus saat seseorang memanggilku.

“Indah! Tunggu!”

Aku abaikan. Aku telah lewati dia entah keberapa kalinya saat temanku memanggil dan mengimbangi laju lariku. Aku tidak lagi menghitung.

“Kamu sudah berapa putaran?” tanya temanku. Aku tidak menjawabnya.

Aku mengabaikannya kerena sempat mendengar dengkus napas dari pria tampan itu. Aku sempat melirik, namun segera urung saat melihat ada perempuan menghampirinya. Aku kembalikan perhatianku pada jalur taman, namun ketika jalur taman tengah memutar, aku bisa melihat perempuan itu berbicara dengannya, bahkan perempuan itu sempat melihatku.

“Jadi ingat kita dulu, ya?”

Terdengar samar, tapi selebihnya hanya mengira-ngira. Juga bisa aku duga jawaban dari pria itu.

Hmmm, enggak tuh.”

Kulihat perempuan itu mencubit pipinya. Pria itu tampak mengaduh meski sebentar, sebelum dia beranjak sambil ambil barang belanjaannya. Lalu aku lihat perempuan itu merangkul lengan pria itu sebelum mereka melangkah.

“Indah! Aku nanya ini! Kamu sudah berapa putaran?”

“Seratus! Aku pulang dulu, ya!”

Aku percepat lariku dan aku tuju ujung taman. Pasangan suami istri itu juga sedang melenggang menuju ujung taman. Karena aku berlari, tentu aku bisa menyusul mereka. Ada saat aku berada di sampingnya. Hanya sesaat. Hanya sebentar.

Aku ingin menjadi yang bisa mencubit pipinya. Aku ingin menjadi yang bisa merangkul lengannya ….

Aku terus berlari sambil menerawang sunset di seberang jalan.

Sunset yang indah ….

Kamu tahu? Sudah miliaran kali sunset itu ada dan hanya manusia yang memaknai keindahannya. Mungkin memang begitu, ya? Alamiahnya keindahan? Tidak hanya terkurung momen yang sebentar, tapi juga hanya bersemayam dalam benak kita ….

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Dealing With Queen
Dini Salim
Novel
Bukan Selamat Tinggal Yasmin
Sandra Arq
Flash
Sejatinya Indah
DMRamdhan
Cerpen
Pertanda
myht
Novel
AURA & ALEX
Azizah Giswa
Flash
GOTCHA!
Vica Lietha
Flash
Pulang
Dara Oct
Novel
Bronze
Aroma Melati di Malam yang Sepi
Desto Prastowo
Novel
Infinity
Putning
Novel
Acomodador : Titik Dimana Orang Menyerah
FN
Novel
Bronze
Remaja 26
A.Ariny Syahidah
Novel
Bronze
WISTERIA - Cinta Sang Penguasa
Felice
Novel
Kisah SMA Ku
Mulyana
Komik
What Is Wrong With My Bodyguard?!
Ann Arbia
Flash
Aku Juga Mencintaimu
Lukyana Arsa
Rekomendasi
Skrip Film
Ruang Rahasia Ibu
DMRamdhan
Flash
Sejatinya Indah
DMRamdhan
Novel
Bronze
Kecuali Monyet
DMRamdhan
Flash
Bronze
L'esprit de L'escalier
DMRamdhan
Novel
Bronze
Adolescent Crash
DMRamdhan
Flash
Bronze
Hantu Cilik
DMRamdhan
Novel
Bukan Pacaran Biasa
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
History of A City
DMRamdhan
Cerpen
Sang Pembisik
DMRamdhan
Flash
Indah yang Sejati
DMRamdhan
Flash
Bronze
Time Alone
DMRamdhan
Novel
To Protect
DMRamdhan
Cerpen
Kebiasaan Lama Gak Ada Matinya
DMRamdhan
Novel
Bronze
Flight of Birds
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
Korslet (Kisah Seputar Kopi dan Resleting)
DMRamdhan