Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Es krim semangka," gumamku di tengah teriakan lembut mesin matic si Mendoan yang baru kutunggangi selama sebulan. Tempe mendoan adalah favoritku sepanjang masa, jadi si kuda besi hitam yang masih bau pabrik ini kuberi nama Mendoan.
Belaian kasar matahari tengah hari menepuk-nepuk kulitku yang malang dengan garang, membuat tubuhku berekskresi berlebihan dan mengeluarkan butiran keringat di tempat-tempat tertutup dan misterius. Padahal aku sedang dibawa melaju oleh si Mendoan dengan kecepatan 50 km/jam melawan polusi dan debu jalanan dan menyalip mesin roda empat, terkadang roda delapan, tapi yang namanya keringat tidak pandang bulu kapan dia mau membuatku bau.
Aku butuh es krim sekarang juga!
Nafsuku makin memburu melindas aspal panas demi menemukan swalayan terdekat yang menyediakan kotak beku yang menyimpan harta karun es nan menyegarkan. Ah, enggak sabar!
Pikiranku tak mau lepas dari bagaimana es krim semangka itu akan memuaskan dahagaku sampai sesosok bayangan terasa menempeliku di sisi kanan belakang Mendoan. Mbak Kunti? Enggak mungkin. Masa muncul di siang bolong? Sundel bolong? Buat apa si cantik rambut panjang dengan punggung tembus pandang mengejarku? Namaku memang Danny, tapi bukan lelaki. Emangnya eyke cewek apaan? Jadi, sundel bolong dicoret dari daftar.
Ah, sial. Dia masih menempeliku. Aku berusaha berkendara dengan stabil agar aman di tengah kesibukan kendaraan lain meski pompa jantung bekerja tidak stabil.
Siapa, sih, yang mengejarku? Begalkah? Mungkin karena melihat pengendaranya seorang perempuan lemah tak berdaya? Namun, sepertinya dia tidak berniat merampas tasku. Lagipula isinya hanya ponsel dan dompet yang sedang kering kerontang dari lembar merah dan biru. Dia bakal rugi merampokku.
Atau tukang palak? Siapa tahu ada tukang palak di jalan raya. Astaga! Tebak-tebakanku makin enggak masuk akal.
Aku ingin lepas dari sosok itu dengan memutar gas di stang kanan hingga angka speedometer naik menjadi 60 km/jam. Aku pikir aku berhasil lepas. Namun, tak sampai seperempat menit sosok bayangan itu mampu mengejarku, bahkan menyamai Mendoan!
Mendoan kubawa lebih kencang. Eh, dia tak mau ketinggalan. Kami seakan berkejar-kejaran mendahului waktu. Rodaku duluan setengah meter, selang beberapa detik kemudian dia berhasil menyamakan kedudukan.
Bah! Siapa manusia berjaket hitam dan berhelm putih ini? Apa maunya? Aku tak punya utang pada siapapun sampai harus dikejar debt collector. Aku juga pecinta damai, sehingga tidak ada musuh yang akan merongrong hidupku dan mengejar eksistensiku untuk membalas dendam. Sementara memikirkan berjuta alasan mengapa orang itu mengejarku, aku juga harus berkonsentrasi di jalan agar tak mati konyol gara-gara kecelakaan tunggal atau sebagai penyebab kesialan pengendara lain kecelakaan.
Teriakan klakson bertubi-tubi menggoyahkan keseimbanganku. Gara-gara klakson barusan, jantungku mencelos dan semakin tak berima, membuat tubuhku kehilangan nyawa. Lututku gemetar. Bagaikan dicium Dementor!
Dia lebih menakutkan daripada Mbak Kunti dan sundel bolong!
Si pengendara motor itu melambaikan tangan kirinya agar menyuruhku menepi. Tuhan. Apa yang akan dilakukannya? Aku bukan siapa-siapa. Bukan orang terkenal, bukan penjahat negara, pun orang kaya. Aku hanyalah seorang gadis sebatang kara yang sedang merantau di kampung orang.
Meski takut, adrenalin melindungi akal sehatku dan menyuruhku untuk menepi. Toh, bumi masih disinari matahari. TERANG BENDERANG. Apa hal buruk yang akan terjadi jika saksi mata bertebaran di mana-mana?
Dengan kaki gemetar dan hati nan was-was, aku turun dari motor, menghadapi seorang pria yang berjalan tegap dan memakai ... seragam polisi lalu lintas? Aku tahu saat dia membuka jaketnya. Rompi kuning langsung menyilaukan kedua biji mataku.What is happening?! Aku enggak melanggar peraturan apapun.
"Selamat siang. Tolong tunjukkan SIM dan STNK," perintahnya tanpa was wes wus.
Rasanya sedang diinterogasi penyidik KPK, maka tanpa pikir panjang aku keluarkan semua yang diminta si petugas. Tenang, tenang. Aku tidak pernah dan tidak akan korupsi. Seperti kata politikus gagal, Katakan tidak pada korupsi. Tapi bukan itu intinya, Danny!
Tanganku licin oleh keringat. Kali ini bukan karena panasnya matahari, tapi gara-gara bapak berseragam itu. Auranya bikin aku merasa salah walaupun aku tahu aku tidak bersalah.
Dalam diam, aku memperhatikan gerak-gerik si petugas berompi kuning stabilo membandingkan isi STNK dengan penampilan Mendoan. Belum lima menit, pengecekan selesai dan dia mengembalikan semua barangku.
Dan begitu saja.
Pria itu tetap menggunakan helm putihnya sampai dia menaiki motor dan menjauh meninggalkanku kebingungan tanpa penjelasan apapun.
Sebentar!
Aku enggak bingung sama sekali.
Motorku baru berusia sebulan. Tentu saja dia mengejarku demi 'sesuatu'. Lebih tepatnya mengambil kesempatan dari pemilik motor baru yang plat nomornya saja belumlah keluar dari kantor Samsat.
Jadi, mengapa dia menempeliku seperti tukang begal, Mbak Kunti, dan sundel bolong? Karena si Mendoan masih memakai plat palsu yang siap dalam satu jam dari tukang pembuat plat kendaraan. Dia pikir Nona Danny ini melaju dengan naif di tengah aspal dan berharap melakukan kesalahan bodoh karena mengendarai motor baru tanpa kelengkapan berkendara? Dasar polisi **********.
Ah, ada-ada saja.