Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku hanya bisa terperangah saat melihatnya.
Ternyata dia ada, desah batinku.
Dia berdiri memunggungiku saat aku buka pintu. Pintu kamar yang telah tua dan suram. Sempat berderit saat engsel memberi resistansi terhadap usahaku membukanya. Dia bergeming meski derit cukup keras. Aku yakin dia menyadari kehadiranku, bahkan jauh sebelum aku mencapai kamar ini.
"Apa maumu?" desisnya tanpa menoleh. Kedua tangannya mengepal. Jelas menyimpan amarah. Kepadaku dan kepada seluruh entitas diriku. Tanpa terkecuali.
"Hanya berkunjung," jawabku.
Dia mendesis sambil membalikan badan. Menyeringai dan matanya membesar dengan pembuluh-pembuluh darah merambat memerah membingkai pupil yang mengecil.
"Kamu tidak diinginkan di sini!"
Desis suaranya terasa menghantam dadaku. Seperti gesekan roda kereta api di rel, berderak dan berlalu, namun membekas.
"Ya ..., aku tahu," gumamku.
"Bajingan! Bangsat tak tahu diri!" Suaranya tiba-tiba mendekat seperti persis di sisi telinga dan dengan cepat memenuhi benakku.
"Ya ..., aku tahu," desahku, kini terasa memelas.
"Bodoh! Idiot! Tolol! Pengecut!" Hantu cilik itu terus memaki, memenuhi gendang telinga. Pekak dan bengap.
"Pecundang! Pecundang! Pecundang!" Ujung makiannya berulang seperti kehabisan kosakata bertema benci.
"Terus?" desahku lemah.
"Mati saja sana!"
"Aku tidak bisa .... Itu bukan wewenangku."
"Pengecut!"
"Ya, aku tahu. Kamu benar. Apapun yang kamu katakan soal aku adalah benar. Lalu, bagaimana sekarang? Lelah juga, bukan? Meratap dan merutuk sesuatu yang jelas aku tahu dan aku akui adanya."
Kulihat rahangnya mengeras, seolah terdengar gemeletuk geliginya yang mengatup rapat.
"Pecundang, pengecut, tolol, bego, orang gagal, apapun itu adalah kepastian. Lalu? Kita akui jalan di depan kita benar-benar gelap, bukan? Kamu tahu itu artinya apa?"
Hantu cilik itu tampak mengerenyitkan keningnya. Ada perasaan heran, namun ada juga perasaan putus asa yang haus akan jawaban.
"Itu artinya, jalan gelap di depan kita juga menawarkan ketidakpastian. Hanya ketidakpastian yang bisa kita andalkan dari masa depan. Mungkin kecil peluangnya, tapi juga menawarkan secercah harapan, bukan?"
Hantu cilik itu terperangah. Pupil matanya tampak membesar, menghimpit dan mendorong merah pembuluh darah ke pinggiran kelopak mata, seperti memancing binar tangis yang merindukan harapan.
Aku sendiri merasakan mataku memanas, menampung luapan emosi dari telaga netra yang dipaparkan hantu cilik itu.
"Apa maumu?" Suaranya terdengar gemetar, tapi juga kentara akan usaha untuk tetap tegar.
"Aku harap kamu bisa melepas aku. Membiarkan pecundang menjijikan ini menapaki jalan gelap itu. Aku tidak tahu ke mana jalan gelap itu akan membawaku. Mungkin aku akan terperosok lagi, tapi itu kamu bisa tertawakan aku, `kan? Tapi bisa jadi aku bisa menemukan percikan api yang bisa memberi penerangan jalan, dan bisa jadi memberiku arahan ke tempat yang lebih terang."
"Pergi saja sana!" Dia memekik kencang.
"Bisakah aku pergi?" Aku miringkan kepalaku, menatapnya sambil tersenyum. Kini kulihat hantu cilik itu hanya seperti bocah pemarah yang tidak diajak main atau berenang.
"Apa maksudmu? Pergi saja sana!"
"Aku tidak bisa, karena jalan gelap itu terhubung dengan kamu dan kamar ini. Tidakkah kamu lihat?"
Dia terpana. Ada semilir angin yang menyibak poni rambutnya, memaparkan mata yang berurai tangis. Tirai jendela pun tersibak, mengizinkan angin masuk dan cahaya memberkas pada suram kamar yang pernah aku tinggali.
"Apa maumu sebenarnya?"
"Maukah kamu mempercayakan masa depanmu padaku?"
Dia kembali terpana. Wajahnya menekuk sedih dan kini aku kenali wajah hantu cilik itu. Wajah yang sering aku lihat di permukaan cermin di masa lampau.
"Aku tahu aku orang gagal, dan bisa jadi akan melakukan kebodohan-kebodohan lainnya. Kamu boleh berdecak kesal, atau menertawakan. Tapi sudikah kamu tersenyum saat aku mencapai sesuatu yang kamu anggap berhasil? Maukah kamu acungkan jempol kepadaku saat itu?"
"Hanya ... itu?" Suaranya terdengar serak dan gemetar.
"Ya, hanya itu. Atau kupikir mungkin kelak kita bisa tertawa bersama-sama?"
Dia menunduk dan kemudian terdengar isak. Namun, justru isak tangisnya seperti mengizinkan terang menyambangi kamar ini. Mencetak kenangan di benakku akan kamar ini di masa lalu.
Tiba-tiba dia menengadah menatapku.
"Janji?"
"Ya ..., aku janji." Kini aku yang terdengar serak dan gemetar. Ada sesak haru yang menyeruak ke tenggorokan, menyekat napas enggan keluar bila tak diiringi air mata.
"Ya, aku janji. Akan berusaha untuk membuat kita bisa tertawa bersama-sama."
Dia usap airmatanya dengan lengan bajunya dan memberanilan diri mengangkat wajah dan tersenyum.
"Aku nantikan itu."
"Ya, percayalah padaku," kataku sambil mengacungkan jempol. Lalu aku memutar langkah dan kembali menutup pintu kamar. Derit engselnya tidak seberisik sebelumnya.
Aku angkat kedua tanganku, menutup wajahku, lalu aku dorong tangan itu hingga jemarinya menyisir sempurna rambutku sambil berseru, "Yosh! Let's waste no time!"
Lalu kutapaki jalan gelap masa depan.
Down the past always lies oblivion ....