Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit senja yang jingga mengingatkanku pada kenangan manis bersama Ibu. Aroma masakannya masih tercium dari ruang tamu, meski kini ruangan kosong dan sunyi. Ibu, dengan pelukan hangat dan senyumannya, kini hanya tinggal dalam ingatan. Suara tawanya yang renyah dan tatapan matanya yang penuh kasih sayang masih terbayang jelas di benakku, seolah-olah waktu tak pernah memisahkan kami.
Kehilangan Ibu membuatku merasa hampa dan sendirian. Setiap sudut rumah menyimpan cerita yang tak terlupakan, dan rindu ini terus datang di setiap malamku. Kadang, aku bisa merasakan kehadirannya di ruang tamu, tempat kami dulu sering menghabiskan waktu bersama sambil berbincang tentang berbagai hal. Kini aku menyadari, kami tidak hanya menjadi yatim, tetapi juga menjadi piatu. Ayah telah lebih dulu pergi, dan kepergian Ibu menggenapi kesepian hidup kami, menyisakan ketidakpastian yang mendalam. Rasa kehilangan yang menyelimuti membuatku merasa terombang-ambing dalam lautan kenangan yang tak berujung.
Malam sudah larut, dan aku bergegas untuk beristirahat. Di tengah keheningan, alarm berdering keras pada pukul 03.00 dini hari. Dengan mata yang masih mengantuk, aku mematikannya dan kembali tidur, berharap bisa memanfaatkan waktu hingga alarm kedua berbunyi pada pukul 03.40. Namun, sebuah mimpi mulai menghampiri, membawa aku kembali ke masa lalu yang penuh dengan kehangatan dan cinta Ibu.
===========================================
Dalam mimpi itu, aku berada di rumah Ibu, menginap untuk beberapa malam. Suasana rumah terasa begitu hidup, penuh dengan canda tawa Ibu dan Ayah, yang sudah lama tak kurasakan sekarang ini. Saat terbangun lagi pada pukul 03.00, aku merasa heran melihat adik perempuanku, Isni, sedang makan bersama seorang teman lelaki di jam selarut itu. Rasa ingin menegur muncul, tapi aku menahan diri agar tidak membuat suasana canggung. Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan menuju dapur. Saat itu, kejutan dan kebahagiaan sekaligus menyergapku saat melihat Ibu sedang memasak. Kulihat Ibu tidak menua, bisa dibilang terlihat sangat muda sekali.
“Kok Ibu nggak marah ada teman laki-laki Isni makan malam-malam begini?” gumamku dalam hati. Karena Ibu membatasi waktu untuk kami anak perempuannya membawa teman laki-laki hanya sampai jam 9 malam. Namun, rasa bahagiaku bertemu Ibu mengalahkan segala kebingungan.
“Ibu masak? Ibu sudah sehat?” tanyaku dengan wajah ceria. Di dalam hatiku, aku sudah membayangkan bisa menikmati masakan Ibu lagi. Aku rindu sekali dengan masakannya. Memasak itu ternyata melelahkan dan bukan passion-ku sama sekali. Ibu tampak tidak segemuk terakhir kali aku melihatnya, tapi juga tidak kurus. Mungkin beliau bisa dibilang dalam kondisi yang pas.
“Enggak, cuma oseng-oseng tempe orek,” jawabnya sambil memperagakan tangan yang sedang memasak. Aku tersenyum lebar, melihat wajahnya yang tenang tanpa ekspresi, lalu memeluknya dengan sangat erat. Kehangatan pelukannya sungguh terasa nyata kurasakan.
Tak lama kemudian, aku melihat anak-anakku berlari menghampiriku. "Ma, ayo cepet kita sholat berjamaah." Ucap anak pertamaku. "Iya ayo." Jawabku sambil mengajak anak- anak untuk sholat. Setelah selesai sholat dan berdoa, tiba-tiba, pikiran ini muncul, “Kan Ibu sudah tidak ada ya?” Seketika, aku mencari Ibu ke seluruh sudut ruangan dan melihat beliau sedang sholat di lantai atas. Aku segera memanggil Mbak Adhe dan Rani, kakak dan adikku yang lain.
“Mba Adhe, Rani.” Teriakku memanggil mereka sambil menuruni anak tangga.
“Kenapa sih teriak-teriak aja kamu,” ucap Mba Adhe sambil menghampiriku, dan diikuti dengan Rani.
“Ada Ibu, ada Ibu, beneran! Di sini, di atas!” seruku dengan nada berteriak dan penuh semangat.
“Masa? Serius kamu ga salah lihat kan?” tanya Rani dengan perasaan tidak percaya.
Kami berjalan menuju lantai atas menghampiri Ibu yang sedang sholat. “Lihat, itu Ibu lagi sholat! Cepetan, itu Ibu!” ucapku penuh keyakinan.
Kulihat Ibu sudah hampir selesai, beliau menoleh ke kanan dan kiri, mengucapkan salam takbiratul akhir. Seketika itu juga, aku terbangun, lalu tersadar bahwa semua itu hanyalah sebuah mimpi. Namun, mimpi itu kurasakan begitu nyata, begitu hangat, seolah Ibu benar-benar hadir di malam itu.
Terima kasih Ibu sudah hadir dalam mimpiku, setidaknya itu sudah cukup untuk mengurangi rasa rinduku padamu, Bu. I love you Ibu!!! ❤️