Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tatapan mencela.
Aku tak paham kenapa sekumpulan anak perempuan itu mencelaku? Kadang terang-terangan, kadang juga bisik-bisik tapi dengan suara lumayan kencang, sambil milirik ke arahku.
Apakah karena aku tampak lusuh dibanding tampilan mereka yang cantik, wangi dan modis? Kadang aku heran sendiri bagaimana mungkin seragam yang sama bisa terkesan berbeda di tubuh mereka?
Atau mereka kesal karena aku tak bayar tapi ikut kelas tambahan bersama mereka?
Oh, apa mungkin karena aku tidak ikut acara jalan-jalan bareng mereka? Ah, aku bahkan tidak pernah diajak. Masa iya, jadi tamu tak diundang.
Atau kenapa ya...?
Aneh memang, jika memang mau bicara ya bicara saja, tak perlu pura-pura, menyembunyikan maksud hati di balik sindirian atau pun kiasan.
Mereka mencelaku. Ah tidak, tampaknya hanya salah satu dari kumpulan anak perempuan itu, yang berkuncir kuda, berwajah cantik dan tampak pintar itu. Justru dia, yang paling jelas menampakan permusuhannya. Dia sering memelototiku.
Pernah suatu hari, kami di kelas tengah memberi catatan kesan satu sama lain dalam selembar kertas.
Kau tahu pendapatnya tentangku?
Kecentilan!
Dia menempelkan tulisan itu di dahiku.
Padahal seingatku, aku tak pernah menyakiti dia, atau menggoda pacarnya. Bahkan aku tidak tahu menahu apakah ia pacaran atau tidak.
Atau dia marah padaku karena..., aku di posisi paling depan kelas, dan sering ditatap si guru biologi yang tampan?
Arg! Aku hanya bisa protes dalam hati. Karena suaraku sering kali tak mau keluar. Di dalam kelas aku senatiasa diam saja, meski keberadaanku lumayan menonjol.
Hah! Aneh bukan?
Bisa dibenci padahal jarang berinteraksi. Bahkan, aku senantiasa menjaga jarak dengan dia dan geng perempuannya.
Kalau kata anak-anak sekarang 'tidak sefrekuensi' istilahnya.
Entahlah, aku sendiri tidak tahu akan kesalahanku, namun tatapannya senantiasa terlihat menghujam saat bersirobok dengan mataku.
Apakah Kalian pernah mengalami itu?
Aku terus termangu tanpa berkedip di depan kelas, di samping papan tulis, sampai dua anak laki-laki datang menghampiriku.
Si ganteng berkaca mata langsung menggandeng lenganku, dan si tubuh atletis merangkul pinggangku. Saking rapatnya jarak di antara kami, sampai-sampai... hidung mereka yang bangir hampir menempel di pipiku.
Gadis yang membenciku itu menatap tajam ke arah kami, lalu si kaca mata berseru,
"Torso anotomi ini udah kelar dipake kan?! Mau dibalikin ke laboratorium."
***
ilustrasi dibuat dengan Wonder AI dan diedit dengan Canva