Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah digiring ke dalam mobil dengan pengamanan ketat, aku kini berada di sebuah ruangan, lebarnya paling hanya 1,2 meter persegi. Aku didudukkan di sebuah kursi kayu keras, dengan meja di depannya, dan ada satu kursi lagi di depanku.
Sepertinya ini yang dinamakan ruang interogasi. Tidak begitu menyeramkan, tapi aku bisa merasakan suasana penindasan di sini. Entah sudah berapa ratus ribu manusia yang pernah duduk di sini. Sayangnya, aku nyaman berada di sini, dibandingkan di apartemenku.
Aku kira, aku akan langsung berhadapan dengan si Loma itu. Ternyata, sidang ditunda hingga aku mau mengakui. Aku tertawa melihat sekitar. Harus mengaku katanya? Apa yang harus aku akui? Orang-orang ini sangat bodoh, mau-mau saja dipermainkan.
Tanganku diborgol, tentu saja. Mereka sepertinya terlalu takut padaku. Padahal, apa yang menakutkan dari wanita tua sepertiku.
Seorang petugas masuk, entahlah siapa, aku juga tidak peduli. Dia duduk di depanku. Kulirik ke kanan, di luar juga sudah berdiri beberapa petugas, memasang wajah serius, tatapan mereka tajam, bahkan matanya nyaris keluar, kuharap matanya benar-benar meluncur keluar, dan kumakan bola matanya. Aku tertawa melihat mereka, betapa menyenangkan berada di sini.
“Saudari Lina, apakah Anda mengenal saudara Loma?” tanya pria jangkung itu, janggutnya bergerak ketika berbicara, itu terlalu lucu untuk dilewatkan.
“Loma? Maksudmu anak pengecut itu? Ah, amat disayangkan dia tidak berada di sini, padahal aku ingin menyapanya,” kataku.
“Apakah Anda mengenalnya?” pria itu bertanya lagi.
Dia bodoh, apa dia tidak paham dengan jawabanku. Dia harus pergi sekolah lagi.
“Bagaimana mungkin aku tidak kenal. Dia anakku, dia darah dagingku,” kataku, jengkel. Aku yakin dia sudah tau fakta itu. Aku muak, kenapa mereka harus berpura-pura.
Pria itu menatapku sangat fokus, sepertinya dia mencoba membaca gerak-gerikku. Aku sengaja saja menggerakkan tubuhku ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang.
“Saudari Lina, tolong tenang,” katanya.
“Tidak mau!” aku mengejeknya.
Aku putar kepalaku, aku gerakkan tanganku, terakhir aku menggebrak meja itu. Aku tertawa puas, tapi orang itu tetap diam, aku benci sekali.
“Kalian sangat kaku sekali, harusnya bergerak. Ikuti aku, seperti ikan itu,” gerutuku.
“Apa benar Anda yang sudah merencanakan pembunuhnya itu?” tanyanya.
“Siapa bilang?” tanyaku.
“Kami sudah kantongi buktinya,” katanya.
“Kalian yakin itu aku? Ha ... ha ... ha ....”
“Tolong tenang,” katanya lagi.
“Kenapa kalian bisa yakin itu aku? Kalian bertanya pada mayatnya? Aku tidak menyentuhnya, dia yang mau melompat sendiri,” kataku. “Anak itu yang selalu ada bersamanya. Tanyakan saja pada anak itu. Ah, sepertinya dia ingin bermain-main dengan kalian. Ha ... ha ... ha ....”
“Anda mengakui, bahwa Anda memang terlibat?” tanyanya.
“Kalian bodoh. Aku bilang aku tidak menyentuhnya! Dia lompat sendiri! Aku tidak membunuhnya!” aku berteriak pada mereka.
“Dengan apa Anda mendorongnya?” tanyanya.
“Aku tidak mendorongnya! Aku diam saja! Dia yang melompat!” bentakku.
“Apa Anda mengancamnya?” tanyanya lagi.
“Tidak, untuk apa aku mengancamnya. Aku sayang padanya. Dia mungkin sudah lelah menerima cintaku,” jawabku.
Aku kembali menggerakkan tubuhku, kali ini dengan kursinya sekalian, hingga menimbulkan bunyi berderik.
“Saudari Lina, tolong diam,” dia memperingatkanku.
“Aku menolak! Aku suka bergerak! Kau ikutlah bergerak denganku!” seruku, lalu aku bergerak lagi, hingga kursi itu jatuh membawaku. Hey, lantainya dingin! Aku suka, aku akan menginap di sini.
“Saudari Lina!”
Orang-orang yang di luar masuk ke dalam, mereka membangunkanku, tapi aku menolak.
“Tidak! Jangan menyentuhku! Aku suka begini! Biarkan aku tidur di sini! Lepaskan!” Aku menghalau siapa saja yang datang. Aku tidak sudi kesenanganku direnggut begitu saja.
“Saudara Lina, tolong tenang dan bersikaplah kooperatif. Ini akan memberatkan masa tahanan Anda,” ucap seorang lelaki, entah siap, suaranya berbeda dari si Jangkung.
“Tidak mau! Penjara saja aku! Aku suka di sini!” kataku, mempertahankan posisi tubuhku agar tidak mereka pindahkan.
“Pak!” suara wanita tiba-tiba mengejutkan orang-orang. “Ada yang ingin berbicara. Ini penting,” katanya.
Kumpulan laki-laki itu akhirnya berdiri, membiarkanku di lantai, aku senang. Namun tiba-tiba saja, lima orang dengan pakaian serba putih masuk secara serempak. Aku mengenali seragam mereka, seketika aku ingin berlari dari sini.
“Kenapa kalian di sini?! Pergi! Pergi dari sini!” aku memberontak.
“Bu, mari ikut kami kembali, ya? Ibu ingat kami, bukan?” katanya.
Tubuhku gemetar mendengar mereka berbicara. “Tidak! Aku tidak mau! Aku mau di sini, aku suka di sini!”
“Bu—”
“Tidak! Kalian pembohong! Kalian bilang aku akan bebas! Kalian bohong! Kalian mencoba membunuhku! Pak Polisi! Mereka ... mereka ingin membunuhku, setiap hari aku disuntik oleh mereka! Mereka ingin menyebarkan virus padaku! Mereka ingin membunuhku!”
Aku menghindari mereka.
“Bu, tenanglah. Ini demi kebaikan, Ibu.”
Mereka menahan tubuhku, mengunci kedua kaki dan tanganku. Aku jadi susah bergerak.
“Bohong!”
“Suntikan obat penenang, cepat!”
“Tidak!” Terlambat salah satu dari mereka membawa suntikan, dan menyuntikkannya padaku. “Ka-kalian ....”