Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi itu udara terasa dingin. Hujan semalam tadi masih menyisakan titik-titik gerimis yang jatuh ke atas bantalan rel. Dan sebagian lainnya jatuh ke atas bahu-bahu para pekerja. Menciptakan titik-titik gelap di atas kemeja atau jaket mereka.
Mereka yang tetap melangkahkan kaki dengan tegap ke stasiun terdekat. Walaupun selembar selimut pasti lebih cocok untuk cuaca seperti ini.
Aku adalah satu dari para pekerja itu. Langkahku tegap, meski hatiku ingin pulang. Aku akan tetap berjejalan di dalam gerbong besi, mengizinkan orang-orang tak ku kenal melanggar area privasiku.
Tapi sebelum itu, izinkan aku duduk dulu. Biarkan aku menunggu kopi panas di tanganku berubah menjadi hangat sebelum aku meminumnya.
Jadi, alih-alih berpindah kereta, aku malah memandangi keramaian stasiun sampai mataku menangkap sebuah kursi di peron. Banyak orang sedang menunggu kereta yang datang, tapi tak seorang pun yang duduk di kursi itu. Tak seorang pun kecuali seorang gadis yang membawa sesuatu yang besar di atas pangkuannya.
Aku memutuskan untuk menghampirinya. Aku menghampiri kursi itu.
“Permisi,” kataku, lalu duduk di samping gadis itu.
“Silakan.” Ia tersenyum lama. Cukup lama hingga membuatku merasa kikuk.
Mataku mencari-cari sepatah basa-basi. Hingga aku menatap benda besar di pangkuannya.
“Apa itu?” tanyaku sambil menunjuk benda besar di pangkuannya.
Gadis itu mengalihkan pandangannya, dariku menuju benda di pangkuannya.
“Ini–” ia seperti ragu. Aku jadi tidak enak karena telah bertanya.
“Ini cinta.”
Akhirnya ia menjawab. Suaranya terdengar indah saat mengucapkannya.
“Oh. Mengapa kau bawa-bawa?” tanyaku kemudian.
“Ini terlalu besar untuk kusimpan sendiri.”
“Benarkah? Jadi kau harus membawanya seperti itu?”
Gadis itu mengangguk. “Ngomong-ngomong, apa kau mau?” tanyanya tiba-tiba.
Aku berpikir sejenak. “Apa boleh?” Aku balik bertanya penuh minat.
“Tentu. Buka tanganmu.”
Aku membuka kedua telapak tanganku dan menyodorkannya kepada gadis itu.
“Sedikit atau banyak?” tanyanya.
“Terserahmu saja.”
Lalu ia mengambil sebagian dari cinta itu dan meletakkannya ke atas kedua telapak tanganku. Tak lama kemudian, aku terbakar.